Laman

Powered By Blogger

Jumat, 04 Juni 2010

Pengaturan Kebijakan dan Pelaksanaan Hak Asasi Manusia
Dalam Rangka Penegakan Hukum di Indonesia*)


Oleh: Hernadi Affandi, S.H., LL.M.**)

A.    Pendahuluan
Keberadaan Hak Asasi Manusia (HAM) sangat penting untuk “memanusiakan manusia”. Dalam hal ini, HAM berperan untuk menjaga dan melindungi hakikat serta martabat manusia dari perbuatan semena-mena pihak tertentu. Perlindungan tersebut diberikan kepada manusia dari tindakan sewenang-wenang negara, melalui aparatnya, atau masyarakat lainnya secara individu maupun kelompok. Demikian pentingnya HAM dalam kehidupan manusia, menyebabkan HAM harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.[1]
Berkaitan dengan HAM, tidak ada satu pun pihak yang boleh melakukan pembatasan terlebih lagi pelanggaran HAM. Pembatasan terhadap HAM hanya dimungkinkan dengan berdasarkan undang-undang kewajiban asasi atau batas HAM orang lain. Dengan demikian, apabila akan dilakukan pembatasan terhadap HAM hanya dimungkinkan atas persetujuan rakyat sendiri melalui pihak pembentuk undang-undang, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) besama-sama Pemerintah. Namun demikian, bukan berarti bahwa kedua lembaga tersebut dapat melakukan pembatasan dengan semena-mena. Pembatasan tersebut hanya dimungkinkan sepanjang tidak merugikan rakyat pemilik HAM.
Namun demikian, kenyataan menunjukkan bahwa di dalam praktiknya masih sering terjadi pelanggaran HAM. Pelanggaran tersebut bukan hanya dilakukan oleh pemerintah tetapi juga oleh masyarakat luas, baik oleh individu maupun kelompok dan korporasi. Hal itu kemudian membawa konsekuensi terjadinya ketimpangan terhadap penghormatan atas keberadaan manusia yang dilakukan oleh individu atau kelompok manusia lainnya. Untuk itu, pelanggaran HAM dalam bentuk apapun harus dihentikan dan pelakunya, baik aparatur negara maupun individu dan korporasi, harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

B.     Arti Penting Pemahaman Konsepsi Hak Asasi Manusia
Apabila ditelusuri, penyebab utama terjadinya pelanggaran HAM paling tidak ada tiga hal, yaitu pembagian kekuasaan yang tidak seimbang, masyarakat warga yang belum berdaya, serta masih kuatnya budaya feodal dan paternalistik dalam masyarakat kita.[2] Kenyataan tersebut muncul karena di satu pihak terdapat pemegang kekusaan yang dominan, sedangkan di lain pihak terdapat pihak yang rentan dengan penyalahgunaan kekusaan tersebut. Ketiga faktor tersebut, pada gilirannya, memunculkan praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan seperti oleh pihak militer, pemerintah, pengusaha, majikan, dan masyarakat umum.[3]
Di satu pihak, HAM perlu ditegakkan dengan hukum, tetapi di lain pihak dalam penegakan hukum juga tidak boleh melanggar HAM. Dengan kata lain, pada saat penegakan HAM, pelanggaran hukum juga masih sering terjadi dilakukan oleh aparat penegak hukum. Berbagai pelanggaran tersebut masih terjadi mulai dari tahap penangkapan, penahanan, penyidikan, sampai di dalam tahanan. Padahal, ketentuan HAM melarang dilakukannya penegakan hukum dengan melanggar HAM itu sendiri. Penegakan hukum dengan melanggar HAM tentunya akan menjadi persoalan tersendiri. Untuk itu, penegak hukum juga harus memperhatikan dan melindungi HAM pihak tersangka atau terdakwa dan terpidana.
Secara konseptual, dalam penegakan hukum akan membawa pertanyaan sejauhmana penegakan hukum dilaksanakan dengan memperhatikan HAM. Selanjutnya, bagaimana upaya penegakan hukum yang tidak melanggar ketentuan HAM. Pertanyaan ini patut diajukan karena bukan tidak mungkin dalam penegakan hukum dapat terjadi pelanggaran HAM. Apabila hal itu benar terjadi, maka patut dipertanyakan pengetahuan dan sekaligus pemahaman para aparat penegak hukum terhadap HAM sendiri. Bukan tidak mungkin aparat hukum sendiri pun tidak mengerti dan memahami konsepsi HAM dalam konteks penegakan hukum. Oleh karena itu, sangat penting untuk memberikan pemahaman yang jelas tentang HAM kepada seluruh aparat penegak hukum tanpa kecuali.
Berkaitan dengan pelaksanaan HAM, dan adanya fakta masih banyaknya terjadi pelanggaran HAM oleh aparat penegak hukum, menimbulkan kecurigaan jangan-jangan mereka tidak memahami konsepsi HAM. Apabila sinyalemen itu benar, maka jangan heran ketika dalam tataran implementasinya masih menimbulkan persoalan termasuk masih banyaknya pelanggaran HAM. Oleh karena itu, sangat wajar di dalam pelaksanaannya sering tidak berjalan sebagaimana mestinya. Salah satu faktor yang menjadi penyebabnya adalah pemahaman mereka yang masih kurang terhadap HAM itu sendiri.
Adanya kekurangpahaman terhadap makna HAM bukan hanya dialami oleh masyarakat awam, tetapi juga oleh para petugas dan penegak hukum. Sebagai akibatnya, tidak mengherankan dalam penegakan hukum masih sering terjadi pelanggaran HAM karena ketiadaan pengetahuan dan pemahaman mereka atas HAM itu sendiri. Di satu pihak hal itu akan membawa dampak kepada terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat penegak hukum. Di lain pihak, penegakan hukum yang dilakukan akan selalu bertentangan dengan tujuan hukum itu sendiri. Oleh karena itu, sangat penting semua kalangan penegak hukum memahami makna HAM agar dalam pelaksanaanya menjadi lebih mudah karena sudah terbentuknya pengetahuan dan pemahaman tentang HAM.
Dari segi akademik, HAM memiliki pengertian dan ruang lingkup yang selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, pengertian HAM pun semakin luas dan berkembang, sehingga yang tadinya tidak atau belum masuk kategori HAM kemudian menjadi HAM. Menurut Gunawan Setiardja, HAM dapat berbeda baik jumlah maupun isinya sesuai dengan kebudayaan dan watak tabiat masyarakat yang bersangkutan. Untuk itu, HAM memiliki arti analoga bukan univoka (bermakna satu).[4]
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada waktu tertentu hak yang tadinya belum dianggap sebagai HAM kemudian berubah menjadi HAM. Hal itu juga ditunjukkan dari pengertian HAM yang berbeda dari pakar yang satu dengan pakar lainnya. Keadaan tersebut tentunya akan turut mempengaruhi terhadap pemahaman dan pelaksanaan HAM oleh para penegak hukum. Pemahaman HAM yang tidak sama akan menyebabkan pelaksanaan dan penegakannya juga akan menimbulkan perbedaan pemafsiran. Apalagi jika petugas atau penegak hukum tersebut tidak memahami sama sekali arti dan hakikat HAM. Untuk itu, pemahaman terhadap HAM merupakan langkah awal yang sangat penting untuk melaksanakan HAM dengan baik.
Beberapa pakar mengemukakan definisi HAM sebagaimana dikutip di bawah ini:
  1. Miriam Budiardjo: Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh  dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan masyarakat.[5]
  2. Sidney Hook: Hak asasi manusia adalah tuntutan yang secara moral bisa dibenarkan, agar seluruh manusia dapat menikmati dan melaksanakan kebebasan dasar mereka yang dipandang perlu untuk mencapai harkat kemanusiaan.[6]
  3. A. Gunawan Setiardja: Hak-hak asasi manusia berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya, jadi hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia.[7]
Di samping itu, Komnas HAM juga memberikan definisi HAM sebagai berikut: Hak asasi manusia ialah hak yang melekat pada setiap manusia untuk dapat mempertahankan hidup, harkat dan martabatnya.[8] Pengertian HAM dapat ditemukan pula dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Menurut undang-undang, Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia
Di lain pihak, Deklarasi Sedunia tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights)[9] tidak memberikan definisi tentang HAM tetapi hanya menyebutkan secara enumeratif hak-hak yang termasuk HAM. Sebagai contoh, Pasal 2  DUHAM menjelaskan sebagai berikut:
(1)    Setiap orang berhak atas semua hak-hak dan kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran atau pun kedudukan lain.
(2)    Selanjutnya tidak diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.

C.    Pengaturan Hak Asasi Manusia Dalam Instrumen Nasional dan Internasional
Berbicara tentang pengaturan kebijakan HAM, terutama harus dilihat dalam konteks peraturan perundang-undangan sebagai salah satu bentuk hukum tertulis yang utama. Oleh kerena itu, keberadaan peraturan perundang-undangan sangat mutlak diperlukan sebagai upaya perlindungan dan penegakan HAM, khususnya peraturan perundangan yang bernuansa nilai-nilai kemanusiaan.[10] Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan yang dimaksud bukan hanya yang mengatur materi HAM, tetapi juga yang berkaitan dengan mekanisme pelaksanaan.[11] Alasannya, menurut Bagir Manan, tanpa adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme pelaksanaan HAM, implementasi HAM di dalam praktik bukan saja sulit tetapi juga akan menimbulkan berbagai masalah.[12]
Dalam sepuluh tahun terakhir ini, HAM sudah diatur di dalam berbagai ketentuan atau instrumen baik nasional maupun internasional.  Hal ini menandakan bahwa HAM sudah menjadi perhatian dunia internasional maupun masing-masing negara. Demikian pula halnya Indonesia, secara nasional sudah mengatur masalah HAM dalam hukum nasionalnya. Beberapa instrumen hukum HAM nasional di antaranya adalah:
a.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia 18 Agustus 1945 yang kemudian diamandemen oleh MPR.
b.      Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
c.       Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Di atas sudah dijelaskan bahwa pengertian dan ruang lingkup HAM berubah seiring dengan pengaturannya baik dalam hukum nasional maupun dalam instrumen internasional. Apabila diteliti, maka dapat ditemukan adanya perkembangan tersebut. Sebagai contoh, ruang lingkup HAM menurut Undang-Undang Dasar 1945 mengalami perubahan antara sebelum dan setelah Amandemen UUD 1945. Sebelum amandemen materi HAM meliputi:[13]
  1. Hak atas kebebasan untuk mengeluarkan  pendapat.
  2. Hak atas kedudukan yang sama di dalam Hukum.
  3. Hak atas kebebasan berkumpul.
  4. Hak atas kebebasan beragama.
  5. Hak atas penghidupan yang layak.
  6. Hak atas kebebasan berserikat.
  7. Hak atas pengajaran.
Selanjutnya, setelah Amandemen Kedua Tahun 2000, ruang lingkup HAM dalam UUD 1945, menjadi sangat luas dengan memasukkan hak-hak baru yang sebelumnya tidak termasuk. Adapun hak-hak baru tersebut adalah: [14]
  1. Hak untuk hidup.
  2. Hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan.
  3. Hak (anak) untuk hidup, tumbuh, dan berkembang.
  4. Hak mengembangkan diri.
  5. Hak untuk memajukan diri.
  6. Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
  7. Hak untuk bekerja.
  8. Hak memperoleh kesempatan dalam pemerintahan.
  9. Hak memeluk agama, memilih pendidikan, pekerjaan, kewarganegaraan serta tinggal di wilayah Negara.
  10. Hak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap.
  11. Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
  12. Hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi.
  13. Hak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda.
  14. Hak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat dan hak memperoleh suaka politik.
  15. Hak hidup sejahtera, bertempat tinggal, mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.
  16. Hak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus.
  17. Hak atas jaminan sosial.
  18. Hak untuk mempunyai hak milik pribadi.
  19. Hak untuk hidup, tidak disiksa, kemerdekaan pikiran dan hati nurani, beragama, tidak diperbudak, diakui sebagai pribadi, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
  20. Hak atas bebas dari perlakuan diskriminatif.
Selain itu, kebijakan HAM juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ruang lingkup HAM adalah:[15]
1.      Hak untuk hidup.
2.      Hak untuk tidak disiksa.
3.      Hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani.
4.      Hak beragama.
5.      Hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum.
6.      Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tidak secara eksplisit mengatur tentang ruang lingkup HAM, tetapi menegaskan tentang pengadilan HAM. Hal itu sebagai salah satu pelaksanaan perintah Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Oleh karena itu, undang-undang tersebut juga sangat penting karena menyangkut bagaimana penegakan hukum terhadap para pelaku pelanggaran HAM, terutama pelanggaran HAM berat. Namun demikian, penegakan HAM tersebut tidak semata-mata terhadap pelanggaran HAM berat, tetapi juga terhadap pelanggaran HAM biasa. Hal ini juga berkaitan dengan proses peradilan bagi para pelaku tindak pidana yang di luar pelanggaran HAM. Dalam hal ini, mereka pun harus diperlakukan dan diproses dengan pandangan HAM.
Berkaitan dengan penegakan hukum, maka hal itu akan lebih berkaitan dengan beberapa hak sipil, di antaranya:
a.       Hak diperlakukan sama di muka hukum.
b.      Hak bebas dari kekerasan.
c.       Hak Memperoleh Keadilan

Ad. a. Hak Diperlakukan Sama di Muka Hukum
Ketentuan yang mengatur tentang hak diperlakukan sama di muka hukum di antaranya diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketentuan tersebut berbunyi: ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Dari bunyi pasal tersebut, sangat jelas bahwa UUD 1945 sangat mengakui adanya kesamaan kedudukan setiap orang di hadapan hukum. Kesamaan tersebut terlihat dari perlakuan, jaminan, perlindungan, kepastian hukum, maupun perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dengan demikian, setiap orang harus diperlakukan sama ketika melakukan pelanggaran hukum dan diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Meskipun di dalam praktiknya terdapat beberapa perkecualian di dalam tahap proses awal, seperti harus adanya izin dari Presiden untuk para anggota DPR, tetapi tidak menghilangkan prinsip kesamaan di hadapan hukum, paling tidak pada tahap penegakan hukum selanjutnya.
Selain itu, hak diperlakukan sama di muka hukum juga diatur dalam Pasal 17 UU Nomor  39 Tahun 1999. Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”. Dari bunyi pasal tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki hak untuk memperoleh keadilan apabila terkena kasus hukum. Kasus hukum tersebut dapat berupa kasus hukum perdata, pidana, administrasi maupun kasus hukum lainnya. Dalam hal ini, yang bersangkutan harus diperlakukan sama oleh pihak penegak hukum seperti polisi, jaksa maupun hakim. Oleh karena itu, tidak dibenarkan adanya diskriminasi dalam bentuk apapun yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam menangani kasus hukum tersebut.
Selanjutnya, hak diperlakukan sama di muka hukum juga diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 39 Tahun 1999. Pasal tersebut terdiri dari 5 (lima) ayat yang berkaitan satu sama lain, yaitu:
(1)   Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2)   Setiap orang tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.
(3)   Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.
(4)   Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(5)   Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. 
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka terdapat beberapa asas yang harus diperhatikan oleh semua pihak terutama aparat penegak hukum. Dalam hal seseorang diduga melakukan tindak pidana, maka yang bersangkutan harus ditangkap, ditahan, dan dituntut sesuai dengan prosedur hukum. Dengan demikian, yang bersangkutan harus dianggap tidak bersalah sampai diputuskan bersalah oleh pengadilan. Inilah hakikat asas praduga tidak bersalah yang terdapat pada ayat (1) yang harus dipegang oleh para penegak hukum. Selanjutnya, pada ayat (2) juga terkandung asas legalitas yang mengharuskan seseorang boleh dituntut hanya berdasarkan hukum yang sudah ada. Dengan demikian, tidak dibenarkan apabila seseorang dituntut apalagi dijatuhi pidana hanya berdasarkan sebuah rancangan undang-undang atau hukum yang dicita-citakan akan berlaku (ius constituendum).
Selain itu, apabila terjadi perubahan peraturan perundang-undangan yang akan dikenakan kepada yang bersangkutan, maka hakim harus melihat peraturan perundang-undangan yang paling menguntungkan terdakwa. Sebagai contoh, apabila pada waktu sebelum perubahan suatu perbuatan diancam pidana hukuman mati, dan setelah ada perubahan berubah menjadi hukuman seumur hidup, maka hakim setinggi-tingginya harus menjatuhkan hukuman seumur hidup tersebut dan bukan lagi hukuman mati. Bukan itu saja, jauh sebelum sampai pada proses penuntutan dan pemidanaan, yaitu dalam tahap penyidikan seorang tersangka memiliki hak untuk mendapatkan bantuan hukum.
Bantuan hukum tersebut dapat didampingi oleh pengacara dan lain-lain. Apabila yang bersangkutan tidak mampu secara ekonomi, maka harus disediakan oleh negara. Inilah asas bantuan hukum yang terkandung dalam Pasal 18 ayat (4). Bentuk perlindungan lainnya adalah sebagaimana yang tercermin pada ayat (5) bahwa seseorang yang sudah diperiksa dan dijatuhi pidana tidak dapat dituntut lagi dalam kasus yang sama. Hal ini juga menyangkut kepastian hukum dalam proses peradilan tersebut. Tanpa adanya asas kepastian hukum dapat saja seseorang yang sudah diputus dan menjalani pidana tersebut kemudian pada suatu waktu dituntut dan dipidana kembali atas tuduhan melakukan tindak pidana yang sama.
Masih berkaitan dengan hak diperlakukan sama di muka hukum, ketentuan lainnya yang mengatur masalah tersebut adalah Pasal 29 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999. Pasal tersebut berbunyi ”Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada”. Dari ketentuan tersebut nampak bahwa semua hal berkaitan dengan hak diperlakukan sama di muka hukum, tidak terlepas dari pengakuan yang bersangkutan sebagai pribadi yang bebas dan merdeka. Dengan demikian, yang bersangkutan tidak dalam posisi yang terikat atau dibelenggu oleh keadaannya sebagai individu yang berada di bawah pengampuan atau pengawasan pihak lainnya.  

Ad. b. Hak Bebas Dari Kekerasan
Makna hak bebas dari kekerasan tentunya dalam arti yang seluas-luasnya, di antaranya adalah bahwa seseorang harus terbebas dari bentuk kekerasan apapun, termasuk penyiksaan dalam arti fisik maupun non fisik. Kekerasan dapat saja terjadi dan dilakukan dalam arti fisik maupun non fisik yang sifatnya tidak menyakitkan secara fisik tetapi menyakitkan secara psikis atau kejiwaan. Sebaliknya, kekerasan juga dapat terjadi apabila hal itu dilakukan dalam bentuk penyiksaan lainnya yang tidak merupakan penyiksaan secara fisik. Biasanya penyiksaan masih sering terjadi dalam rangka pengambilan informasi yang dilakukan oleh petugas penegak hukum kepada seorang tersangka atau terdakwa dalam kasus-kasus tertentu.
Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, penyiksaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan yang hebat, baik jasmani maupun rohani, pada seseorang untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dari seseorang atau dari orang ketiga, dengan menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah dilakukan atau diduga telah dilakukan oleh seseorang atau orang ketiga, atau mengancam atau memaksa seseorang atau orang ketiga, atau untuk suatu alasan yang didasarkan pada setiap bentuk diskriminasi, apabila rasa sakit atau penderitaan tersebut ditimbulkan oleh, atas hasutan dari, dengan persetujuan, atau sepengetahuan siapa pun dan atau pejabat publik
Berkaitan dengan larangan dilakukannya tindakan kekerasan dalam bentuk penyiksaan, Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 sudah menegaskan bahwa: ”Setiap orang berhak bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”. Dari bunyi pasal tersebut nampak bahwa hak bebas dari penyiksaan dikaitkan dengan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Hal ini sangat logis karena pada umumnya tindakan penyiksaan akan sangat merendahkan harkat manusia yang terkena penyiksaan tersebut. Oleh karena itu, penyiksaan dilarang karena akan merendahkan derajat manusia lainnya.
Selain itu, hak bebas dari penyiksaan juga diatur dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Pasal tersebut berbunyi ”Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya”. Dari ketentuan pasal tersebut sangat jelas bahwa hak bebas dari penyiksaan di sini diartikan terhadap dan terutama dari penyiksaan atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan derajat dan martabat manusia. Namun demikian, bukan berarti bahwa penyiksaan yang tidak kejam atau tidak manusiawi atau tidak merendahkan derajat dan martabat manusia dibenarkan. Karena dalam bentuk dan keadaan apa pun penyiksaan pada hakikatnya adalah tidak manusiawi, dan sangat merendahkan derajat dan martabat manusia yang disiksa tersebut.
Selanjutnya, Pasal 33 ayat (2) menegaskan bahwa ”Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa. Di dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan ”penghilangan paksa” dalam ayat ini adalah tindakan yang dilakukan oleh siapa pun yang menyebabkan seseorang tidak diketahui keberadaannya dan keadaannya. Sedangkan yang dimaksud dengan ”penghilangan nyawa” adalah pembunuhan yang dilakukan sewenang-wenang tidak berdasarkan putusan pengadilan. Dengan demikian, pembunuhan yang dilakukan melalui atau berdasarkan putusan pengadilan masih dapat dibenarkan. Misalnya, dalam bentuk hukuman mati yang dijatuhkan oleh putusan pengadilan tidak termasuk pembunuhan.
Masih berkaitan dengan  hak bebas dari kekerasan, Pasal 34 UU Nomor 39 Tahun 1999 menegaskan bahwa ”Setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau dibuang secara sewenang-wenang”. Dalam hal ini, kekerasan bukan saja mungkin dilakukan oleh petugas penegak hukum dalam tahap penangkapan dan penahanan, tetapi juga dalam tahap pemenjaraan. Oleh karena itu, dalam rangka perlindungan HAM, baik tersangka maupun terpidana harus tetap dilindungi dari kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM oleh pihak petugas penegak hukum maupun oleh sesama narapidana.

Ad. c.  Hak Memperoleh Keadilan
Pada bagian sebelumnya, Pasal 17 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 menjadi dasar dari hak diperlakukan sama di muka hukum. Selain itu, pasal ini juga menjadi dasar dari hak untuk memperoleh keadilan. Hal ini beralasan karena antara hak diperlakukan sama di muka hukum dengan hak memperoleh keadilan sangat erat berkaitan. Dengan kata lain, persamaan di muka hukum sebenarnya adalah dalam rangka hak memperoleh keadilan. Oleh karena itu, apabila seseorang tersangkut dalam kasus hukum tertentu, maka harus ”... diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.
Demikian pula halnya ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah juga menjadi dasar untuk memperoleh keadilan, baik dalam tahap penangkapan, penahanan, maupun penuntutan. Selain itu, yang bersangkutan juga tidak boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya. Hal ini juga sangat penting dalam menjaga rasa keadilan bagi seseorang yang melakukan tindak pidana akibat belum adanya aturan yang melarangnya.
Hak untuk memperoleh keadilan juga lebih nampak sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (3) yang berbunyi “Setiap ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka”.  Selain itu, ketentuan pada ayat (4) juga mengandung hal yang sama, di mana berbunyi “Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Demikian pula halnya, Pasal 18 ayat (5) juga mengandung perlindungan atas hak memperoleh keadilan, karena “Setiap orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap”.
Selain diatur dalam Pasal 17 dan 18 sebagaimana dijelaskan di atas, masalah hak untuk memperoleh keadilan juga diatur dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Pasal 19 tersebut berbunyi sebagai berikut:
(1)    Tiada suatu pelanggaran atau kejahatan apa pun diancam dengan hukuman berupa perampasan seluruh harta kekayaan milik yang salah.
(2)    Tidak seorang pun atas putusan pengadilan boleh dipidana penjara atau kurungan berdasarkan atas alasan ketidakmampuan untuk memenuhi suatu kewajiban dalam perjanjian utang piutang.

D.    Implementasi Hak Asasi Manusia Dalam Proses Penegakan Hukum
Di atas sudah dijelaskan bahwa keberadaan HAM sangat penting untuk dihormati, dilindungi, dan ditegakkan oleh negara, khususnya oleh pemerintah. Namun demikian, tentunya kewajiban untuk menegakkan HAM oleh negara bukan hanya kewajiban pemerintah saja, karena pemerintah hanya merupakan salah satu unsur dari negara. Di samping pemerintah sebagai eksekutif, masih ada lembaga lain seperti DPR, MPR, MA, MK, dan lain-lain. Semua lembaga tersebut sebenarnya juga memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memajukan HAM. Memang dalam hal ini ada penekanan terhadap unsur pemerintah, karena pemerintah yang memiliki aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan lain-lain.
Menurut Saafroedin Bahar, terdapat dua pandangan besar dalam pemahaman visi HAM dan sikap terhadap para pelanggarnya, yaitu kelompok paham legalistik dan kelompok paham filosofis atau moralistik.[16] Menurut beliau, paham yang pertama memiliki ciri yaitu teguh mengacu kepada norma-norma HAM yang sudah mempunyai kekuatan hukum dan menolak menangani masalah-masalah yang per definisi yang mereka anut di luar HAM tersebut.[17] Paham ini kemudian membawa konseksuensi dengan munculnya pendirian di kalangan tersebut bahwa konsep HAM hanya berkenaan dengan hubungan antara individu dan negara. Oleh karena itu, menurut pandangan tersebut, hanya negara beserta aparaturnya yang dipandang dapat melakukan pelanggaran HAM. [18]
Di lain pihak, paham filosofis atau moralistis lebih menitikberatkan pengertian HAM dalam arti yang lebih luas.[19] Pandangan ini kemudian membawa konsekuensi bahwa pelanggaran terhadap HAM tidak hanya dapat dilakukan oleh negara, tetapi juga oleh orang-seorang, sebuah perusahaan negara atau perusahaan swasta, atau suatu organisasi.[20] Dalam hal ini, siapa pun dapat menjadi pelaku pelanggaran HAM. Untuk itu, tanggung jawab pelaksanaan perlindungan HAM bersifat nasional, yang secara praktis berada di atas pundak negara, antara lain melalui kewenangannya dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif.[21]
Adanya kewajiban negara terutama pemerintah untuk menghormati, melindungi, dan memajukan HAM ditentukan dalam Pasal 71 dan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Selengkapnya, pasal tersebut berbunyi:

Pasal 71:
”Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan hak asasi manusi yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”.

Pasal 72:
”Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang bidang lain”.
Kewajiban itu bukan hanya dalam keadaan normal maupun perang, termasuk dalam proses penegakan hukum. Berkaitan dengan pelaksanaan HAM dalam konteks penegakan hukum, hal itu akan lebih terlihat dalam proses peradilan mulai dari tahap awal sampai tahap akhir. Untuk itu sangat penting untuk melihat pelaksanaan HAM dalam konteks penegakan hukum. Hal itu akan menunjukkan apakah dalam pelaksanaan penegakan hukum masalah HAM benar-benar diperhatikan atau diabaikan.
Adapun bentuk perlindungan HAM dalam lingkup Administrasi Peradilan menurut Muladi adalah dalam bentuk:[22]
a.       pencegahan diskriminasi;
b.      asas legalitas;
c.       non warga negara dan pengungsi;
d.      hak untuk hidup dan bebas dari hukuman yang kejam dan tidak wajar;
e.       hak untuk mendapatkan hak dan kebebasan sebagai tahanan;
f.       hak untuk mendapatkan peradilan yang adil;
g.      administrasi peradilan remaja (Administration of Juvenile Justice);
h.      kebijakan peradilan pidana;
i.        tata tertib;
j.        hak (korban) untuk mendapatkan pengobatan;
k.      prosedur untuk menyampaikan keluhan dan laporan (complaints and reporting procedures);
l.        Derogasi;
m.    kerjasama internasional dalam hal-hal pidana, termasuk perjanjian-perjanjian (treaties model).
Berkaitan dengan proses peradilan tersebut, Muladi membaginya ke dalam 3 (tiga) tahap, yaitu:[23]
  1. Tahap pra peradilan.
  2. Tahap peradilan.
  3. Tahap pasca peradilan.
Di dalam praktiknya, perlindungan HAM dalam tahap Pra Peradilan meliputi, antara lain:[24]
a.       Larangan penangkapan atau penahanan sewenang-wenang;
b.      Hak untuk mengetahui alasan penahanan;
c.       Hak untuk mendapat jasa pengacara;
d.      Hak untuk hadir di hadapan hakim untuk menguji keabsahan penangkapan atau penahanan;
e.       Larangan penyiksaan dan hak untuk mendapatkan perlakuan manusiawi selama masa penahanan pra peradilan;
f.       Larangan penahan incommunicado (yang memutuskan hubungan dengan orang lain).
Dalam tahap ini, apabila ada seseorang yang ditangkap atau ditahan dengan sewenang-wenang atau tanpa alasan dan dasar hukum yang jelas oleh aparat penegak hukum, maka yang bersangkutan dapat mengajukan pra peradilan. Pada tahap pra peradilan biasanya dimintakan penetapan bahwa penangkapan atau penahanan tersebut adalah tidak sah dan melanggar hukum.
Selanjutnya adalah tahap Peradilan yang meliputi:[25]
  1. Akses yang sama di hadapan pengadilan;
  2. Hak untuk mendapatkan pemeriksaan yang adil;
  3. Hak untuk mendapatkan pemeriksaan publik;
  4. Hak untuk diadili pada pengadilan yang tidak memihak, independen, dan kompeten sebagaimana diatur dalam undang-undang;
  5. Hak untuk mendapatkan perlakuan praduga tak bersalah;
  6. Hak untuk mendapatkan penjelasan yang memadai mengenai alasan tuduhan pidana;
  7. Hak untuk mendapatkan waktu dan fasilitas yang memadai untuk persiapan penahanan;
  8. Hak untuk memeriksa para saksi;
  9. Hak untuk mendapatkan penerjemah;
  10. Larangan melibatkan seseorang yang memberatkan;
  11. Larangan penerapan hukum-hukum pidana yang berlaku surut;
  12. Larangan dalam bahaya yang berlipat (double jeopardy).
Sebagai tahap terakhir dari proses sebelumnya adalah tahap Pasca Peradilan. Dalam tahap ini, proses yang dapat dilakukan adalah:[26]
  1. Hak untuk mengajukan peninjauan;
  2. Hak untuk mendapatkan ganti rugi karena kesalahan peradilan.

E.     Penutup
Pengaturan kebijakan HAM dalam hukum nasional Indonesia sudah lebih dari cukup. Dengan demikian, persoalan HAM di Indonesia bukan lagi berkaitan dengan pengaturan dan perlindungan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Akan tetapi yang lebih penting lagi adalah dalam tataran pelaksanaannya dalam praktiknya. Oleh karena itu, semua komponen masyarakat, terutama aparat penegak dan pelaksana hukum, harus memahami dan melaksanakan HAM dengan baik. Pelaksanaan HAM bukan hanya dalam konteks penegakan hukum, tetapi juga  dalam bidang yang lebih luas lagi seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain.
 Khusus dalam konteks pelaksanaan HAM dalam penegakan hukum, para penegak hukum sangat penting untuk menghindarkan berbagai pelanggaran dalam proses peradilan pada setiap tahapan. Dalam hal ini, HAM menjadi pemandu dan pedoman penting bagi aparat penegak hukum untuk selalu bertindak hati-hati agar pelaksanaan penegakan hukum berjalan dengan baik tanpa mengabaikan hak-hak pihak yang terkait terutama kepentingan tersangka atau terdakwa. Dengan demikian, kepentingan mereka tetap dihargai dan dihormati sekalipun sedang terlibat dalam suatu persoalan hukum tertentu.



DAFTAR PUSTAKA



Bagir Manan, 2001, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, PT Alumni, Bandung.
Candra Gautama dan B.N. Marbun, ed., 2000, Hak Asasi Manusia, Penyelenggaraan Negara yang Baik, dan Masyarakat Warga, Komisi Nasional HAM, Jakarta.
Gunawan Setiardja, A. 1993,Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, cet.1, Kanisius, Yogyakarta.
Hernadi Affandi, 2005,Hukum Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.
Hook, Sidney, et.al, 1987, Hak Azasi Manusia Dalam Islam, penyunting Harun Nasution dan Bahtiar Effendy, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 1994, Laporan Tahunan 1994, Jakarta.
Miriam Budiardjo, 1977, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta.
Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta.
Saafroedin Bahar, 2002, Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.


Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.



*) Paper disampaikan dalam acara “Pemantapan Wawasan Kader Partai Politik di Kabupaten Majalengka Tahun 2006”, Majalengka, 12 Desember 2006.
**) Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.
[1] Konsiderans Menimbang huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.
[2] Candra Gautama dan B.N. Marbun, ed., Hak Asasi Manusia, Penyelenggaraan Negara yang Baik, dan Masyarakat Warga, Komisi Nasional HAM, Jakarta, 2000, hlm. 91.
[3] ibid, hlm. 91.
[4] A. Gunawan Setiardja, Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila, Kanisius, Yogyakarta, 1993, cet.1, hlm. 76.
[5]  Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, 1977, hlm. 120.
[6] Sidney Hook, et.al, Hak Azasi Manusia Dalam Islam, penyunting Harun Nasution dan Bahtiar Effendy, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1987, hlm. 19.
[7] A. Gunawan Setiardja, op.cit, hlm. 73.
[8]  Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Laporan Tahunan 1994, Jakarta, 1994, hlm. vii
[9] Dalam bahasa Indonesia biasanya disingkat DUHAM
[10] Bagir Manan, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, PT Alumni, Bandung, 2001, hlm. 152.
[11] Ibid, hlm. 152.
[12] ibid, hlm. 153.
[13] Hernadi Affandi, op.cit, hlm. 8.
[14] ibid, hlm. 8.
[15] ibid, hlm. 8.
[16] Saafroedin Bahar, Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hlm. 357
[17] ibid, hlm. 357
[18] ibid, hlm. 357
[19] ibid, hlm. 358
[20] ibid, hlm. 358-359
[21] ibid, hlm. 359
[22] Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 301
[23] ibid, hlm. 300-301.
[24] ibid, hlm. 300.
[25] ibid, hlm. 300-301.
[26] ibid, hlm. 301.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar