Laman

Powered By Blogger

Sabtu, 05 Juni 2010

Makna Korupsi dan Upaya-upaya Strategis Akselerasi Pemberantasan Korupsi
di Indonesia*)

Oleh: Hernadi Affandi, S.H., LL.M.**)

A.    Pendahuluan
“Korupsi” dan “koruptor” merupakan kata yang (paling) banyak dibicarakan orang dalam era Reformasi ini. Kedua kata ini seakan tidak habis-hasisnya menjadi isu pembicaraan di kalangan masyarakat atau bahan berita yang dimuat dalam media massa baik cetak maupun elektronik di Indonesia. Hampir setiap hari berbagai koran atau televisi menampilkan berbagai berita seputar korupsi dan koruptor ini. Anehnya, semakin hari isu korupsi bukan semakin berkurang atau hilang tetapi justru semakin bertambah banyak dan terus mewabah di mana-mana dengan kerugian milyaran bahkan triliunan rupian. Akibat adanya korupsi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa suatu waktu Indonesia akan kehilangan eksistensinya sebagai negara.
Kenyataan tersebut kemudian membuat pihak-pihak tertentu menyatakan perang terhadap korupsi. Berbagai upaya mereka lakukan untuk menghentikan laju perkembangan korupsi di tanah air, mulai dari wacana sampai aksi turun ke jalan dengan mendesak pihak berkompeten untuk serius menangani masalah korupsi ini. Namun di lain pihak, pelaku korupsi tetap ada dan pelakunya aman-aman saja melakukan tindakan korupsi. Tentunya hal ini merupakan suatu ironi di mana di satu sisi ada pihak yang menggembar-gemborkan bahwa korupsi harus diberantas dan diperangi, tetapi di lain pihak para pelakunya masih tenang-tenang saja tanpa ada keinginan untuk berhenti.
Sudah banyak diskusi, seminar, lokakarya, dan sebagainya yang membicarakan tentang pemberantasan korupsi di Indonesia. Akan tetapi, fakta juga menunjukkan bahwa korupsi masih tetap berjalan bahkan semakin subur dan mewabah hampir di semua tingkatan dan dengan berbagai modus baru. Keadaan tersebut kemudian membuat sebagian masyarakat merasa ragu bahkan apatis kalau korupsi di Indonesia dapat diberantas apalagi dihilangkan dari bumi pertiwi. Tidak sedikit pula masyarakat kita yang sudah bosan membicarakan pemberantasan korupsi karena dianggapnya tidak membawa perubahan apapun. Oleh karena itu, upaya tersebut dianggapnya sebagai suatu tindakan yang sia-sia seperti mimpi di siang bolong.
Namun, tentu saja kita tidak boleh berhenti untuk berusaha dan bertindak dalam pemberantasan korupsi. Penulis yakin bahwa upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan, pada suatu waktu akan membawa hasil sesuai dengan harapan semua pihak. Oleh karena itu, upaya itu harus tetap dan terus didengungkan kepada seluruh masyarakat agar terjadi pembelajaran bahwa korupsi sangat berbahaya dan merugikan semua pihak. Upaya ini tentunya akan memerlukan kesabaran yang tinggi dari semua pihak, terutama para aktivis anti korupsi. Kesabaran itu harus ditunjukkan dengan terus menerus memberikan pembelajaran kepada masyarakat untuk menolak dan menghindari peluang terjadinya korupsi.


B.     Makna Korupsi Dalam Peraturan Perundang-undangan
Berbicara masalah korupsi, ada baiknya kita memahami makna korupsi tersebut. Hal inin sangat penting untuk menyamakan persepsi tentang apa saja tindakan atau perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. Setelah itu, kita dapat menentukan langkah-langkah berikutnya untuk mengurangi atau memberantas korupsi tersebut. Kesalahan dalam memaknai korupsi tentunya akan berpengaruh pula terhadap upaya pemberantasannya. Bagaimana mungkin kita akan mengalahkan musuh apalagi kita sendiri tidak mengetahui siapa musuh kita. Untuk itu, pemahaman yang mendalam tentang pengertian, ruang lingkup, atau jenis-jenis korupsi akan membantu kita dalam upaya pemberantasannya.
Korupsi memiliki makna yang bermacam-macam dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Hal itu dapat dilihat dari berbagai pendapat pakar maupun peraturan perundang-undangan yang pernah dan masih berlaku. Untuk itu, kita harus berhati-hati dalam memaknai korupsi karena bukan tidak mungkin kita akan mengalami perbedaan pendapat tentang korupsi dan pelaku korupsi itu sendiri. Jangan-jangan ternyata kita semua adalah juga pelaku korupsi tanpa kita sendiri sadari. Apabila itu terjadi, maka tentunya kita pun harus mau mengakui bahwa kita juga sebagai pelakunya tanpa harus menyalahkan orang atau pihak lainnya.
Secara etimologis, korupsi berasal dari kata corruptio atau corruptus (Latin) yang diserap ke dalam bahasa Inggris menjadi corruption dan bahasa Belanda menjadi korruptie. Dari pengertian bahasa Belanda tersebut kemudia diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi korupsi.[1] Pada mulanya, pengertian korupsi masih bersifat umum dan belum memiliki arti secara hukum. Korupsi diartikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dsb.[2] Istilah korupsi baru diberi makna yuridis pertama kali di dalam Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/PM/06/1957 Tentang Pemberantasan Korupsi. Pasal 1 Peraturan Penguasa Perang tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan korupsi ialah:
  1. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh siapapun juga, baik untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan orang lain atau untuk kepentingan suatu badan yang langsung atau tidak langsung menyebabkan kerugian bagi keuangan perekonomian negara.
  2. Tiap perbuatan yang dilakukan oleh seorang pejabat yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah ataupun dari suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, yang dengan mempergunakan kesempatan atau kewenangan atau kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh jabatan, langsung atau tidak langsung membawa keuntungan material baginya.
Selanjutnya, pengertian (perbuatan) korupsi diperluas berdasarkan Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/013/1958 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Perbuatan korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda. Pasal 1 Peraturan tersebut menyatakan bahwa:
”Perbuatan korupsi terdiri atas:
  1. perbuatan korupsi pidana; dan
  2. perbuatan korupsi lainnya.
Adapun pengertian perbuatan korupsi pidana diatur lebih lanjut dalam Pasal 2 yang berbunyi sebagai berikut:
  1. Perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan atau perekonomian negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat;
  2. Perbuatan seseorang, yang dengan atau karena melakukan suatu kejahatan atau pelanggaran memperkaya diri sendiri atau orang lain atas suatu badan dan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan;
  3. Kejahatan-kejahatan tercantum dalam pasal 41 sampai 50 Peraturan Penguasa Perang ini dan diatur dalam pasal 209, 210, 418 dan 420 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Selanjutnya, Pasal 3 mengatur tentang perbuatan korupsi lainnya bahwa: Yang disebut perbuatan korupsi lainnya ialah:
  1. perbuatan seseorang yang dengan atau karena melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara atau daerah atau merugikan keuangan suatu badan yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari masyarakat.
  2. Perbuatan seseorang, yang dengan atau melakukan perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang dilakukan dengan menyalahgunakan jabatan atau kedudukan. 
Pemberantasan korupsi kemudian mendapatkan pengaturan dalam bentuk undang-undang pada tahun 1971 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun sangat disayangkan bahwa undang-undang tersebut tidak memberikan definisi atau pengertian yang jelas tentang korupsi dan perbuatan atau tindak pidana korupsi. Anehnya, perbuatan atau tindak pidana korupsi dapat dihukum tanpa memberikan batasan yang jelas tentang arti atau pengertiannya itu sendiri.
Di dalam Pasal 1 undang-undang tersebut disebutkan bahwa: Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah:
(1)   a.  barang siapa dengan melawan hukum atau melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
b        barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan-kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
c         barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam pasal-pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, 425, dan 435 KUHP;
d        barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu.
e         barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya seperti tersebut dalam pasal-pasal 418, 419, dan 420 KUHP, tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.
(2)   barang siapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak-pidana tindak-pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e, pasal ini.
Kita baru dapat memahami bahwa pengertian korupsi tidak dimasukkan dalam Pengertian Umum sebagaimana lazimnya suatu undang-undang dari Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 bahwa ”... rumusan tindak pidana korupsi dirumuskan sedemikian rupa, hingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atas suatu badan yang dilakukan secara ”MELAWAN HUKUM”, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sama halnya dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juga tidak memberikan definisi atau penjelasan tentang pengertian atau tindak pidana korupsi itu sendiri. Pengertian korupsi hanya dapat dilihat dari kualifikasi tindakan yang dilakukannya seperti diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3. Pasal 2 ayat (1) berbunyi bahwa ”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara ...”. Pasal 3 berbunyi bahwa ”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, ...”.
Berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 telah mengamanatkan dibentuknya suatu badan yang diberi nama Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 berbunyi sebagai berikut:
(1)   Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku, dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2)   Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenang melakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3)   Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.
(4)   Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja, pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan undang-undang.[3]
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diubah dan diperbaiki dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Adapun alasan dilakukannya perubahan tersebut adalah sebagaimana tercantum dalam konsiderans menimbang huruf a dan huruf b beserta Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. konsiderans tersebut berbunyi sebagai berikut:
a.       bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
b.      Bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di dalam Penjelasan Umum juga dijelaskan alasan dilakukannya perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, yaitu:
1.      terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan undang-undang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan.
2.      korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa.
3.      pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik, yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
4.      untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi.
Sebagai akibat perubahan tersebut, beberapa pasal mengalami perubahan dan penambahan, sehingga cakupannya menjadi lebih luas. Untuk itu, kemudian jenis, bentuk, atau tindakan korupsi menurut hukum positif sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. berdasarkan pasal-pasal tersebut, maka dapat dirinci ke dalam 30 (tiga puluh) jenis, bentuk, atau tindakan korupsi.[4] Untuk mengetahui tindakan atau perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dan siapa saja pelaku tindak pidana korupsi tersebut, maka di bawah ini akan dikutip pasal-pasal tersebut secara singkat:
  1. Pasal 2
”Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara”.
  1. Pasal 3
”Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
  1. Pasal 5 ayat (1) huruf a (setelah perubahan)
“Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara”.
  1. Pasal 5 ayat (1) huruf b (setelah perubahan)
“Setiap orang yang memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara”.
  1. Pasal 5 ayat (2) (setelah perubahan)
“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji”.
  1. Pasal 6 ayat (1) huruf a (setelah perubahan)
“Setiap orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim”.
  1. Pasal 6 ayat (1) huruf b (setelah perubahan)
“Setiap orang yang memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang (advokat)”.
  1. Pasal 6 ayat (2) (setelah perubahan)
“Hakim atau advokat yang menerima pemberian atau janji”.
  1. Pasal 7 ayat (1) huruf b (setelah perubahan)
“Pemborong, ahli bangunan, atau penjual bahan bangunan yang … melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang”.
  1. Pasal 7 ayat (1) huruf b (setelah perubahan)
“Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang”.
  1. Pasal 7 ayat (1) huruf c (setelah perubahan)
“Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang kepada TNI dan atau POLRI melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang”.
  1. Pasal 7 ayat (1) huruf d (setelah perubahan)
“Setiap orang yang mengawasi penyerahan barang keperluan TNI dan atau POLRI dengan sengaja membiarkan perbuatan curang”.
  1. Pasal 7 ayat (2) (setelah perubahan)
“Orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan TNI dan atau POLRI dan membiarkan perbuatan curang”.
  1. Pasal 8 (setelah perubahan)
“Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri (yang menjalankan jabatan umum), dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya”.
  1. Pasal 8 (setelah perubahan)
“Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri (yang menjalankan jabatan umum), dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi”.
  1. Pasal 10 huruf a (setelah perubahan)
“Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri (yang menjalankan jabatan umum), dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar”.
  1. Pasal 10 huruf b (setelah perubahan)
“Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri (yang menjalankan jabatan umum), dengan sengaja membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut”.
  1. Pasal 10 huruf b (setelah perubahan)
“Pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri (yang menjalankan jabatan umum), dengan sengaja membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta surat, atau daftar tersebut”.
  1. Pasal 11 (setelah perubahan)
“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya”.
  1. Pasal 12 huruf a (setelah perubahan)
“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji (yang) … diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya”.
  1. Pasal 12 huruf b (setelah perubahan)
“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah (yang) … diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya”.
  1. Pasal 12 huruf c (setelah perubahan)
“Hakim yang menerima hadiah atau janji (yang) … untuk mempengaruhi putusan perkara”.
  1. Pasal 12 huruf d (setelah perubahan)
"Advokat (yang) menerima hadiah atau janji … untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan …”.
  1. Pasal 12 huruf e (setelah perubahan)
“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya …”.
  1. Pasal 12 huruf f (setelah perubahan)
“Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum …”.
  1. Pasal 12 huruf g (setelah perubahan)
”Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima atau meminta pekerjaan atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan hutang kepada dirinya, padahal ... bukan merupakan hutang”.
  1. Pasal 12 huruf h (setelah perubahan)
”Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara ... telah merugikan orang yang berhak ... bertentangan dengan perundang-undangan”.
  1. Pasal 12 huruf i (setelah perubahan)
”Pegawai negeri atau penyelenggara negara, baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya”.
  1. Pasal 12B jo. Pasal 12C (baru)
“Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap sebagai suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya ...”.
  1. Pasal 13 (sebelum perubahan)
“Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, ...”.
Dari ketigapuluh jenis, bentuk, atau tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam 7 (tujuh) bentuk korupsi, yaitu: [5]
  1. Kerugian keuangan negara.
  2. Suap-menyuap.
  3. Penggelapan dalam jabatan.
  4. Pemerasan.
  5. Perbuatan curang.
  6. Benturan kepentingan dalam pengadaan.
  7. Gratifikasi.
Di samping bentuk dan jenis tindak pidana korupsi tersebut, di dalam undang-undang tersebut diatur pula tentang tindak pidana lain yang sangat berkaitan erat dengan tindak pidana korupsi. Adapun tindak pidana tersebut adalah:[6]
  1. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi.
  2. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar.
  3. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka.
  4. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu.
  5. Orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberikan keterangan palsu.
  6. Saksi yang membuka identitas pelapor.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa pengertian dan ruang lingkup korupsi telah mengalami perubahan dan perkembangan. Selain itu, berdasarkan undang-undang yang saat ini berlaku, maka pelaku korupsi bukan saja pegawai negeri atau pejabat negara, tetapi dapat siapa saja termasuk orang yang di luar bidang pemerintahan, baik orang perseorangan maupun korporasi. Hal itu terjadi dengan adanya perluasan pengertian pelakunya bukan hanya pegawai negeri atau penyelenggara negara saja karena adanya frase ”setiap orang”. Oleh karena itu, masyarakat umum juga perlu mengerti dan memahami bahwa mereka juga dapat menjadi pelaku korupsi apabila memenuhi unsur atau ketentuan sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut.


C.    Mencari Faktor Utama Penyebab Terjadinya Korupsi
Satu hal yang tidak kalah pentingnya dalam pemberantasan korupsi adalah kita harus mengetahui dulu faktor penyebab terjadinya korupsi. Pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh berbagai pihak mungkin akan mengalami kesulitan apabila kita tidak mengetahui dam memahami dengan jelas penyebabnya. Bagaimana mungkin seorang dokter akan dapat mengobati atau menyembuhkan pasien apabila dokter itu tidak tahu faktor penyebab sakitnya si pasien tersebut. Demikian pula halnya dalam pemberantasan korupsi, bagaimana mungkin orang atau pihak tersebut dapat melakukan pemberantasan korupsi apabila tidak mengetahui dengan jelas faktor penyebab korupsi. Setelah diketahui dengan pasti apa penyebabnya tentunya akan lebih mudah untuk melakukan tindakan tertentu mulai dari yang paling mungkin sampai hal yang dianggap paling tidak mungkin.
Apabila diteliti, berbagai faktor dapat menjadi penyebab terjadinya korupsi di Indonesia. Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dalam Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional yang diterbitkan Maret 1999, penyebab terjadinya korupsi dapat dikelompokkan ke dalam 4 (empat) aspek, yaitu:[7]
1.      Aspek individu pelaku korupsi.
2.      Aspek organisasi.
3.      Aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada.
4.      Aspek peraturan perundang-undangan.
Kemudian aspek-aspek tersebut dirinci sebagai berikut:
1.      Aspek individu pelaku korupsi
a.       Sifat tamak manusia.
b.      Moral yang kurang kuat menghadapi godaan.
c.       Penghasilan kurang mencukupi kebutuhan hidup yang wajar.
d.      Kebutuhan hidup yang mendesak.
e.       Gaya hidup konsumtif.
f.       Malas atau tidak mau bekerja keras.
g.      Ajaran-ajaran agama kurang diterapkan secara benar.
Dari beberapa aspek yang terkait dengan pelaku korupsi, maka persoalan yang menyebabkannya adalah bersifat internal atau dari dalam diri si pelaku itu sendiri. Apabila yang bersangkutan atau siapapun yang memiliki kesempatan untuk melakukan korupsi dapat menahan diri dan menghindarkan diri dari perbuatan korupsi, maka tindak pidana korupsi tidak akan terjadi. Sebaliknya, sekecil apapun peluang atau kesempatan untuk terjadinya korupsi, apabila memang yang bersangkutan memiliki mental korup tentunya akan dicari celah-celah agar mendapat peluang untuk melakukan korupsi. Dengan demikian, dorongan dari dalam merupakan faktor penting sebagai penyebab terjadinya korupsi.
2.      Aspek organisasi
a.       Kurang adanya teladan dari pimpinan.
b.      Tidak adanya kultur organisasi yang benar.
c.       Sistem akuntabilitas di instansi pemerintah kurang memadai.
d.      Kelemahan sistem pengendalian manajemen.
e.       Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya.
Terlepas dari aspek individu di atas, maka korupsi akan terjadi juga seandainya di dalam organisasi birokrasi tidak ada sistem manajemen yang baik. Hal itu akan menjadi faktor pendukung terjadinya tindakan korupsi disebabkan lemahnya mekanisme kontrol atau pertanggungjawaban dari setiap unsur yang terlibat dalam organisasi birokrasi tersebut, mulai dari pimpinan sampai dengan rekan sekerjanya. Dengan kelemahan sistem organisasi, dapat saja orang yang tidak memiliki sifat korup juga tergiur untuk melakukan korupsi. Apalagi apabila orang tersebut memang memiliki sifat korup kemudian ditunjang oleh manajemen organisasi yang tidak baik, maka sudah dapat dipastikan tindak pidana tersebut akan terjadi.
3.      Aspek masyarakat tempat individu dan organisasi berada:
a.       Nilai-nilai yang berlaku ternyata kondusif untuk terjadinya korupsi.
b.      Masyarakat kurang menyadari bahwa yang paling dirugikan oleh setiap praktik korupsi adalah masyarakat sendiri.
c.       Masyarakat kurang menyadari bahwa masyarakat sendiri terlibat dalam setiap praktik korupsi.
d.      Masyarakat kurang menyadari bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi hanya akan berhasil kalau masyarakat ikut aktif melakukannya,
e.       Generasi muda Indonesia dihadapkan dengan praktik korupsi sejak dilahirkan.
f.       Penyalahartian pengertian-pengertian dalam budaya bangsa Indonesia.
Kelemahan kontrol dari masyarakat juga memungkinkan terjadinya korupsi dalam kalangan birokrasi atau instansi lainnya. Ketidakpedulian masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap tingkah laku para birokrat akan menyebabkan mereka memiliki kesempatan untuk tindak melakukan tindakan korupsi, Hal itu dapat menjadi lebih parah apabila masyarakat justru mendukung tindakan tersebut dengan memberikan peluang terjadinya korupsi. Seharusnya, masyarakat tidak memberikan peluang untuk terjadinya korupsi bdengan mekakukan pengawasan.
4.      Aspek peraturan perundang-undangan:
a.       Adanya peraturan perundang-undangan monopolistik yang hanya menguntungkan kerabat dan konco-konco Presiden.
b.      Kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai.
c.       Tidak efektifnya judicial review oleh Mahkamah Agung.
d.      Peraturan kurang disosialisasikan.
e.       Sanksi terlalu ringan.
f.       Penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu.
g.      Lemahnya bidang evaluasi dan revisi undang-undang.
Korupsi dapat terjadi bukan saja disebabkan oleh sifat tamak manusia, orgnasisasi birokrasi, tetapi juga dapat terjadi karena perangkat peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan yang tidak baik dapat membuka peluang terjadinya korupsi karena adanya celah dan peluang yang dapat disalahgunakan oleh mereka yang memiliki kecenderungan korupsi. Dalam hal ini, peraturan perundang-undangan semestinya menjadi pedoman tingkah laku birokrasi baik sebagai organisasi maupun individu dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara jelas tanpa menimbulkan multi interpretasi. Di dalam peraturan perundang-undangan itulah seharusnya diatur tentang hak, kewajiban, tanggung jawab, dan sebagainya untuk semua perangkat birokrasi disertai dengan mekanisme pengawasan yang jelas untuk masing-masing unsur atau level.


D.    Upaya-upaya Strategis Akselerasi Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Persoalan korupsi ternyata merupakan masalah yang dihadapi oleh banyak negara yang masih berkembang. Menurut Ann Seidmen, negara-negara berkembang dan sedang dalam transisi, pemerintahannya menghadapi yaitu: korupsi marak di mana-mana, otorisasi yang berlebihan dalam menjalankan pemerintahan; tidak ada pertanggungjawaban dan transparansi; serta keputusan dan kebijakan pemerintahan yang seringkali terbukti tidak efektif.[8] Berbagai kendala tersebut menjadi faktor penyebab terpuruknya negara-negara tersebut karena tidak mampu melaksanakan pemerintahan yang bersih dalam pembangunan negaranya. Hal itu pula yang membedakan antara negara maju dengan negara yang masih berkembang, dimana di negara maju persoalan korupsi dan penyelenggaraan pemerintahan bukan lagi menjadi permasalahan utama.[9]
Terjadinya praktik korupsi dan kolusi yang selama ini merajalela di Indonesia disebabkan para penyelenggara negara telah kehilangan arah dan kendali dalam mengemban tugas sebagai pelaksana pembangunan. Dengan kata lain, dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, mereka telah mengabaikan prinsip-prinsip pemerintahan yang baik (good governance). Padahal, good governance adalah kata kunci keberhasilan pembangunan yang banyak dianut oleh negara-negara lain di dunia. Sebagai akibatnya, pembangunan yang dilaksanakan di tanah air tidak berjalan secara optimal dan kurang memberikan manfaat yang berarti bagi kemajuan bangsa dan negara.[10]
Dengan demikian, korupsi ternyata sangat merugikan banyak pihak, sehingga harus diberantas. Namun demikian, pemberantasan korupsi yang dilakukan tanpa metode dan teknik yang benar tentunya tidak akan berhasil dengan optimal. Demikian pula halnya, apabila pemberantasan korupsi tidak dilakukan oleh orang  atau pihak yang tepat juga tidak akan membawa dampak berarti terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Oleh karena itu, dalam pemberantasan korupsi harus terintegrasi berbagai unsur baik metode atau teknik, strategi, maupun eksekutornya. Dengan demikian, pemberantasan korupsi akan berjalan sesuai dengan arah yang dikehendaki karena dilakukan secara terencana dan terarah.
Dalam memberantas atau memerangi korupsi tentunya diperlukan strategi yang jitu agar kita dapat memenangkan peperangan tersebut. Seperti halnya berperang dalam pengertian yang umum, kita harus mengetahui kekuatan dan kelemahan kita sendiri di samping kekuatan dan kelemahan lawan. Berdasarkan kekuatan dan kelemahan kita serta kelemahan lawan itulah kemudian disusun suatu strategi untuk memenangkan peperangan tersebut. Dengan strategi yang baik tentunya diharapkan akan memudahkan kita melawan pihak musuh. Namun, strategi saja tidak cukup tetapi harus diterapkan secara konsisten dan konsekuen. Sebagus apapun strategi tersebut tentunya akan kurang berarti apabila tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya oleh orang yang berkompeten sesuai dengan kewenangannya.
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia bukan merupakan hal yang baru. Hal itu sudah dilakukan sejak awal-awal Indonesia merdeka seiring dengan mulai maraknya berbagai kasus korupsi yang melanda Indonesia yang baru merdeka pada saat itu. Pemerintahan Orde Lama dianggap gagal karena salah satunya disebabkan oleh maraknya korupsi pada saat itu. Hal itu mendorong berbagai elemen masyarakat yang dipelopori oleh mahasiswa melakukan gerakan untuk memerangi dan memberantas korupsi pada waktu itu. Gerakan itu kemudian melahirkan Orde Baru sebagai bentuk koreksi terhadap kegagalan Orde Lama. Namun demikian, Orde Baru yang diharapkan dapat memerangi dan memberantas korupsi, justru malah menjadi pemerintahan yang dianggap korup pula. Munculnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menyebabkan sejarah berulang kembali dengan melakukan koreksi terhadap era Orde Baru. Dalam hal ini, kalangan kampus dan komponen masyarakat lainnya kembali menjadi pelopor dalam melakukan perbaikan nasib bangsa. Gerakan ini kemudian melahirkan Orde Reformasi sebagai koreksi atas kegagalan Orde Baru dalam memenuhi tuntutan awal kelahirannya, yaitu memerangi dan memberantas korupsi.
Dalam pemberantasan korupsi pada era Reformasi ini, tampaknya kita perlu berkaca kepada kegagalan pemberantasan korupsi yang dilakukan pada masa Orde Baru. Hal itu sangat penting untuk dijadikan cermin agar pada saat ini dan ke depannya pihak-pihak terkait dalam pemberantasan korupsi dapat belajar dari kegagalan tersebut. Tentunya kita sangat berharap bahwa kegagalan pemberantasan korupsi jangan kembali terulang pada era Reformasi ini. Apabila pada era Reformasi ini juga gagal dalam memerangi dan memberantas korupsi, maka kesabaran rakyat juga akan habis sehingga tidak akan lagi percaya terhadap upaya apapun yang mengatasnamakan Orde Reformasi.
Adapun kegagalan upaya pemberantasan korupsi pada waktu Orde Baru disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya:[11]
1.      Kelemahan infra struktur politik nasional selama Orde Baru:
Lembaga-lembaga negara yang ada pada saat itu, yaitu: DPR, MA, BPK, DPA, dan MPR dianggap kuran peduli dengan pemberantasan korupsi dan tidak memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemberantasan korupsi. Hal itu disebabkan oleh adanya kekuasaan yang dominan dari Presiden pada saat itu, sehingga cabang-cabang kekuasaan lainnya berada di bawah Presiden.
2.      Pengaruh selaku pimpinan tertinggi pemerintah:
a         Persepsi bahwa Presiden H.H. Soeharto terlalu lemah dalam mendukung pemberantasan korupsi.
b        Adanya benturan-benturan dengan kerabat dan konco-konco Presiden.
c         Persepsi keteladanan yang keliru di antara pejabat tinggi pemerintahan.
3.      Tidak adanya strategi nasional yang jelas:
a         Upaya pemberantasan korupsi tidak disosialisasikan.
b        Upaya pemberantasan korupsi belum melibatkan seluruh potensi bangsa.
c         Sasaran yang dicapai dan kegiatan yang harus dilakukan tidak dirumuskan secara tepat.
d        Pemberantasan korupsi dilaksanakan tidak terkoordinasi.
e         Tidak ada evaluasi periodik.
4.      Kelemahan aparat pemerintah yang menangani korupsi:
a.       SDM instansi yang menanggulangi korupsi kurang memadai dalam kualitas dan kuantitas.
b.      Keterbatasan wewenang instansi yang bertugas menanggulangi korupsi.
c.       Perbedaan persepsi di antara instansi yang terkait dengan pemberantasan korupsi.
d.      Ketidakpercayaan antar instansi yang terkait dengan pemberantasan korupsi.
e.       Aparat pengawasan belum efektif dalam mendukung penanggulangan korupsi.
f.       Upaya mendorong penerapan waskat (pengawasan melekat) masih kurang.
5.      Peraturan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi kurang memadai:
a.       Menitikberatkan pada melawan hukum menyalahgunakan wewenang.
b.      Terlalu menitikberatkan pada peraturan-peraturan dan sanksi formal.
c.       Penerapan sanksi dari peraturan-peraturan yang ada tidak semestinya.
d.      Peraturan yang ada tidak efektif.
6.      Partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi:
a.       Nilai anti korupsi di masyarakat belum terbentuk secara konkret.
b.      Kurangnya dukungan dari masyarakat luas.
c.       Kurang terkomunikasikannya saluran informasi korupsi beserta pemantauannya.
d.      Kurangnya perlindungan bagi pemberi informasi korupsi dan kurangnya pemberian sanksi bagi pemberi informasi yang bersifat fitnah.
Di lain pihak, Kejaksaan Agung Republik Indonesia telah mengemukakan 3 (tiga) kendala utama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, yaitu hambatan struktural, hambatan kultural, dan hambatan instrumental.[12] Hambatan-hambatan tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1.      Hambatan struktural, yaitu hambatan yang telah berlangsung lama yang bersumber dari praktik-praktik penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya. Yang termasuk dalam kelompok ini di antaranya rendahnya gaji PNS; egoisme sektoral dan institusional; rendahnya kualitas maupun kuantitas sumber daya manusia aparat penegak hukum dan anggaran yang disediakan masih sangat minim.
2.      Hambatan kultural, yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif yang berkembang di masyarakat yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
3.      Hambatan instrumental, yaitu hambatan yang bersumber dari instrumen pendukung dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang membuat penanganan tindak pidana korupsi tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Berdasarkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam pemberantasan korupsi tersebut, maka kita dapat menyusun langkah-langkah dan upaya-upaya strategis untuk mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia. Solusi yang dilakukan tentunya disesuaikan dengan persoalan yang dihadapi, kemampuan, sarana dan prasarana yang dimiliki. Selain itu, penanganannya dilaksanakan secara konseptual dan terarah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Untuk itu, pemberantasan korupsi harus dituangkan ke dalam strategi nasional pemberantasan korupsi yang dilaksanakan oleh pihak terkait, seperti kepolisian, kejaksaan, komisi pemberantasan korupsi, termasuk jajaran peradilan. Sinergi pihak-pihak tersebut sangat penting artinya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia, sehingga masing-masing pihak tidak berjalan sendiri-sendiri.
Sebagai upaya solusi terhadap persoalan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia dalam pemberantasan korupsi, pihak Kejaksaan Agung telah merumuskan pemecahan kendala tersebut sesuai dengan persoalan yang dihadapi di atas. Adapun solusi tersebut adalah:[13]
1.      Terhadap hambatan struktural:
a.       Dapat dilakukan dengan meningkatkan kesejahteraan PNS, dengan membuat standar gaji yang memadai dan proporsional.
b.      Mewujudkan sistem peradilan secara terpadu (integrated criminal justice system), sehingga terjalin koordinasi di antara sub sistem-sub sistem dalam sistem peradilan pidana.
c.       Mengadakan pendidikan dan pelatihan satu atap terhadap aparat penegak hukum (penyidik, penuntut umum dan hakim) guna mewujudkan aparat penegak hukum yang profesional dan berintegritas.
d.      Memberikan anggaran yang cukup untuk menyelesaikan perkara tindak pidana korupsi, sehingga dapat mencukupi biaya operasional aparat penegak hukum.
2.      Terhadap hambatan kultural:
Membentuk budaya hukum yang tinggi pada masyarakat Indonesia, seperti menghilangkan budaya suap, meterialistis, tidak mau antri, dan sebagainya. Hal ini dapat diawali dengan mengadakan Gerakan Anti Korupsi Nasional yang melibatkan pemerintahan, pendidikan formal/informal, Pers, dan tindakan tegas aparat hukum yang dilakukan secara kontinyu dan simultan.
3.      Terhadap hambatan instrumental:
-          Membuat peraturan-peraturan yang tidak ambigu dan multi tafsir.
-          Merevisi berbagai peraturan yang dianggap menjadi penghambat seperti berbagai peraturan mengenai izin membuka rekening dan sebagainya.
-          Melakukan kerjasama internasional melalui Mutual Legal Assistance (MLA) maupun perjanjian ekstradisi dengan berbagai negara yang dicurigai sebagai tempat persembunyian para koruptor.
Berbagai upaya tersebut tentunya tidak akan dapat berjalan sebagaimana mestinya tanpa adanya political will dan political commitment dari berbagai pihak terkait. Sebagus apapun solusi dan strategi yang diajukan tidak akan banyak berarti apabila masing-masing pihak tidak memiliki kemauan dan komitmen untuk melakukan pemberantasan korupsi secara terpadu dan menyeluruh. Oleh karena itu, semua pihak terkait perlu menyamakan visi, misi, dan persepsi dalam pemberantasan korupsi sesuai dengan proporsinya masing-masing. Pihak-pihak terkait jangan merasa paling berwenang dan berkompeten dengan mengabaikan keikutsertaan pihak lain. Dalam hal ini, kebersamaan dan kerjasama dari semua pihak terkait akan sangat berarti untuk mempercepat upaya pemberantasan korupsi. Keterlibatan secara aktif dari masyarakat juga sangat diperlukan untuk mempercepat pemberantasan korupsi di Indonesia.


E.     Penutup
Pemberantasan korupsi di Indonesia akan merupakan perjuangan berat yang harus diupayakan secara terus menerus oleh semua pihak dan elemen dalam masyarakat. Dalam hal ini, semua komponen masyarakat jangan pernah merasa bosan apalagi menyerah untuk terus membunyikan genderang perang terhadap korupsi. Apabila masyarakat, khususnya para aktivis anti korupsi menyerah dan menghentikan perjuangannya dalam memerangi dan memberantas korupsi, maka berarti mereka sudah kalah dalam peperangan tersebut. Apabila itu terjadi, maka kita hanya bisa menunggu waktu bahwa suatu hari Indonesia akan hilang eksistensinya dari percaturan negara yang ada di dunia ini. Keadaan itu tentunya akan sangat mengerikan dan menyakitkan di mana kita sebagai bangsa tidak mampu bertahan disebabkan oleh kesalahan kita semua dalam memerangi dan memberantas korupsi.
Sebelum itu terjadi, selagi kita masih punya waktu dan kesempatan, sebaiknya kita pergunakan waktu dan kesempatan itu untuk terus memerangi korupsi. Apapun dan bagaimanapun tantangan yang kita hadapi dalam memerangi dan memberantas korupsi, jangan sampai menyurutkan langkah kita. Kelengahan dan kelemahan kita untuk terus bertahan akan menjadi titik lemah yang dapat dimanfaatkan oleh pihak ”lawan”. Oleh karena itu, kita harus selalu waspada agar kita tidak mengalami kekalahan dalam peperangan ini. Peperangan ini akan terus berlangsung selama kita ingin memberantas dan memerangi korupsi. Untuk itu, niat kita jangan surut dan menyerah karena berbagai situasi dan kondisi yang dihadapi, agar kita keluar sebagai pemenang dalam peperangan ini. Semoga!

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rahman Saleh, 2006, “Evaluasi Kejaksaan Setahun Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, makalah disampaikan pada acara Seminar dan Konferensi Peduli Korupsi BEM se-Indonesia, Bandung.
Andi Hamzah, Delik-delik Tersebar di Luar KUHP, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hlm. 143.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), 1999, Strategi Pemberantasan Korupsi Nasiona, Pusat Pendidikan dan Pelatihan BPKP, Jakarta.
Poerwadarminta, W.J.S.,  1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta.
Komisi Pemberantasan Korupsi, 2006, Memahami untuk Membasmi, Buku saku untuk memahami Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta.
Hernadi Affandi, 2005, “Penerapan Prinsip Pemerintahan yang Baik (Good Governance) Dalam Pembangunan Hukum Nasional yang Berkeadilan”, paper, disampaikan dalam Simposium Kebudayaan Indonesia-Malaysia (SKIM), Bandung.


Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/PM/06/1957 Tentang Pemberantasan Korupsi.
Peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/013/1958 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Perbuatan korupsi Pidana dan Penilikan Harta Benda.



*) Paper disampaikan dalam kegiatan Diskusi Panel Dalam Rangka Memperingati Hari Anti Korupsi se-Dunia, diselenggarakan oleh Dewan Pimpinan Daerah Barisan Indonesia (Barindo) Provinsi Jawa Barat, Bandung, 20 Januari 2007.
**) Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.
[1] Lihat dan bandingkan Andi Hamzah, Delik-delik Tersebar di Luar KUHP, Pradnya Paramita, Jakarta, 1985, hlm. 143.
[2] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, 1982, hlm. 524.
[3] Sebagai realisasi dari perintah tersebut kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002.
[4] Penulis menggunakan “sistematika” bentuk atau jenis tindak pidana sebagaimana yang dikeluarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam buku Memahami untuk Membasmi, Buku saku untuk memahami Tindak Pidana Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 2006, hlm. 19-20.
[5] Lihat dan bandingkan Komisi Pemberantasan Korupsi, ibid, hlm. 20-21.
[6] ibid, hlm. 21
[7] dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Strategi Pemberantasan Korupsi Nasiona, Pusat Pendidikan dan Pelatihan BPKP, Jakarta, 1999, hlm. 83-104.
[8] ibid, hlm. 9
[9] Hernadi Affandi, “Penerapan Prinsip Pemerintahan yang Baik (Good Governance) Dalam Pembangunan Hukum Nasional yang Berkeadilan”, paper, disampaikan dalam Simposium Kebudayaan Indonesia-Malaysia (SKIM), Bandung, 10-12 Mei 2005,  hlm. 8.
[10] ibid,  hlm. 2.
[11] ibid, hlm. 107-109.
[12] Abdul Rahman Saleh, “Evaluasi Kejaksaan Setahun Pemberantasan Korupsi di Indonesia”, makalah disampaikan pada acara Seminar dan Konferensi Peduli Korupsi BEM se-Indonesia, Bandung, 26 Desember 2006, hlm. 10.
[13] ibid, hlm. 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar