Laman

Powered By Blogger

Rabu, 02 Juni 2010

Pengaturan dan Pelaksanaan Kebijakan Hukum Nasional

Dalam Pembangunan Politik dan Demokrasi di Indonesia*)


Oleh: Hernadi Affandi, S.H., LL.M.**)

A. Pendahuluan

Diskursus mengenai pembangunan politik dan demokrasi di Indonesia sudah lama berlangsung dan masih terus berkembang sampai saat ini. Proses tersebut seolah belum menghasilkan bentuk yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa kita. Hal itu menunjukkan bahwa pembangunan politik dan demokrasi masih terus mencari bentuk yang sesuai dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Oleh karena itu tidak mengherankan karena persoalan pembangunan politik di satu pihak dan pembangunan demokrasi masih terus berlanjut sampai saat ini. Dengan kata lain, bangsa Indonesia masih harus terus menerus untuk mencari format pembangunan politik dan demokrasi yang paling cocok dengan kondisi bangsa Indonesia sendiri.

Tidak dapat dipungkirii bahwa dalam satu dasawarsa ini, pembangunan politik dan demokrasi di Indonesia sudah berubah drastis daripada sebelumnya. Hal itu sebagai konsekuensi adanya kenyataan bahwa politik dan demokrasi di Indonesia beberapa waktu lalu dianggap tidak cocok dengan situasi dan kondisi bangsa Indonesia. Tuntutan reformasi yang dipelopori oleh kalangan kampus sudah menunjukkan bahwa perlu ada berbagai perubahan dalam tataran hukum dan politik termasuk di dalamnya kehidupan berdemokrasi. Adanya tuntutan seperti itu sebagai akumulasi persoalan yang terpendam kemudian muncul ke permukaan sebagai bentuk ketidakpuasan atas kondisi politik dan demokrasi pada waktu lalu.

Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa politik bangsa ini lebih ditujukan kepada pelanggengan kekuasaan para elit tanpa menghiraukan kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Sebagai konsekuensinya, demokrasi yang dijalankan juga masih bersifat semu karena lebih dititikberatkan kepada kepentingan penguasa daripada kepentingan rakyat banyak. Secara sadar atau tidak, hal itu memicu terjadinya krisis kepercayaan kepada para elit politik maupun para penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif maupun judikatif, baik tingkat pusat maupun daerah.

Keadaan itu kemudian mengkristal menjadi tuntutan reformasi yang disuarakan oleh kalangan kampus untuk mengubah berbagai tatanan hukum sebagai landasan politik atau demokrasi. Sebagai hasilnya, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah diamandemen sebagai faktor utama penyebab tidak berjalannya pembangunan politik dan demokrasi yang diharapkan. Dengan adanya amandemen terhadap UUD 1945, maka arah pembangunan politik dan demokrasi di Indonesia mengalami perubahan penting. Secara yuridis, landasan kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia sudah semakin kuat dengan memberikan arah yang jelas dalam konstitusi. Namun demikian, perubahan itu belum dapat sepenuhnya menjamin terlaksananya proses perubahan arah tatanan hukum maupun politik apabila tidak dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Untuk itu perlu keterlibatan semua pihak untuk melakukan pengawasan atas pelaksanaannya.

B. Kebijakan Hukum Nasional Melalui Amandemen UUD 1945

Seperti sudah diketahui oleh berbagai pihak bahwa adanya tuntutan reformasi yang dilakukan oleh kalangan kampus dan kaum intelektual pada tahun 1999 telah mendorong keinginan untuk mengubah kondisi bangsa ini yang dianggap menghadapi berbagai masalah di bidang ekonomi, sosial, hukum, politik, dan sebagainya. Tuntutan tersebut kemudian dikenal sebagai tuntutan reformasi. Apabila diinventarisasi, maka beberapa tuntutan reformasi yang berkembang pada saat itu adalah:[1]

1. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Penghapusan doktrin dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).

3. Penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

4. Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah).

5. Mewujudkan kebebasan pers.

6. Mewujudkan kehidupan demokrasi.

Apabila ditelaah, tuntutan reformasi sebenarnya lebih ditujukan kepada keinginan untuk melakukan perubahan ke arah perimbangan kekuasaan di antara para penyelenggara negara. Selain itu, muncul pula keinginan untuk melakukan pembatasan kekuasaan yang dimiliki oleh para penyelenggara negara, khususnya kekuasaan Presiden. Alasannya, karena pada saat itu muncul kesan bahwa kekuasaan pemerintahan menumpuk pada tangan Presiden. Dengan demikian, pelaksana kekuasaan lainnya hanya merupakan penopang dan pendukung kekuasaan Presiden.

Menurut MPR sendiri, dasar pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan UUD 1945 antara lain:[2]

1. UUD 1945 membentuk struktur ketatanegaraan yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat.

2. UUD 1945 memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden).

3. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu tafsiran (multitafsir).

4. UUD 1945 terlalu banyak memberikan kewenangan kepada kekuasaan Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan undang-undang.

5. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggara negara belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, pemberdayaan rakyat, penghormatan HAM, dan otonomi daerah.

Adapun contoh-contoh konkret yang menunjukkan ketiadaan aturan yang jelas, seperti: [3]

  1. Tidak adanya saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) antarlembaga Negara dan kekuasaan terpusat pada Presiden.
  2. Infrastruktur politik yang dibentuk, antara lain partai politik dan organisasi masyarakat, kurang mempunyai kebebasan berekspresi sehingga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya.
  3. Pemilihan umum (pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses dan tahapan pelaksanaannya dikuasai pemerintah.
  4. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli, oligopoli, dan monopsoni.

Atas dasar berbagai alasan itulah kemudian mendorong MPR melakukan perubahan terhadap UUD 1945. Perubahan terhadap UUD 1945 menjadi kata kunci untuk melakukan perubahan terhadap berbagai aspek kehidupan ketatanegaraan, hukum, politik, sosial, budaya, ekonomi, dan lain-lain. Hal ini beralasan karena UUD 1945 sebagai landasan tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan kata lain, untuk melakukan perubahan berbagai aspek kehidupan tersebut harus dimulai dari landasan utamanya, yaitu UUD 1945 sendiri.

Berkaitan dengan perubahan UUD 1945 sebagaimana dijelaskan di atas, Sri Soemantri menyebutnya sebagai reformasi konstitusi. Menurut beliau, reformasi konstitusi memiliki dua pengertian, yaitu pertama mengandung arti pembentukan konstitusi baru, sedangkan yang kedua mengandung arti perbaikan terhadap konstitusi yang telah ada.[4] Dengan menggunakan istilah beliau, tampaknya yang lebih sesuai adalah pengertian kedua karena UUD 1945 tidak diganti secara total, tetapi diganti pada bagian materi muatan tertentu terutama berkaitan dengan kelembagaan negara, hak asasi manusia, hak warga negara dan penduduk, dan lain-lain.

Berkaitan dengan materi muatan UUD 1945 yang mengalami perubahan pada perubahan pertama tahun 1999 sampai dengan perubahan keempat tahun 2002 adalah:

1. Pada perubahan pertama, MPR mengubah Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (2) dan (3), Pasal 20, dan Pasal 21.[5]

2. Pada perubahan kedua, MPR mengubah dan/atau menambah Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20 ayat (5), Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 26 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 27 ayat (3), Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30, Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C. [6]

3. Pada perubahan ketiga, MPR mengubah dan/atau menambah Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 3 ayat (1), (3), dan (4); Pasal 6 ayat (1) dan (2); Pasal 6A ayat (1), (2), (3), dan (5); Pasal 7A; Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (4), (5), (6), dan (7); Pasal 7C; Pasal 8 ayat (1) dan (2); Pasal 11 ayat (2) dan (3); Pasal 17 ayat (4); Bab VIIA, Pasal 22C ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 22D ayat (1), (2), (3), dan (4); Bab 7B, Pasal 22E ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6); Pasal 23 ayat (1), (2), dan (3); Pasal 23F ayat (1), dan (2); Pasal 23G ayat (1), dan (2); Pasal 24 ayat (1), dan (2); Pasal 24A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5); Pasal 24B ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 24C ayat (1), (2), (3), (4), (5), dan (6).[7]

4. Pada perubahan keempat, MPR menetapkan: [8]

(a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan pertama, kedua, ketiga, dan perubahan keempat ini adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan Perwakilan Rakyat;

(b) penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan kalimat, “Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.”;

(c) pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A;

(d) penghapusan judul Bab IV tentang Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara;

(e) pengubahan dan/atau penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3); Pasal 11 ayat (1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (4); Bab XIII, Pasal 31 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 32 ayat (1), dan ayat (2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dengan dilakukannya perubahan terhadap berbagai pasal materi muatan UUD 1945 tentunya akan membawa dampak terhadap kehidupan ketatanegaraan, politik, hukum, demokrasi, dan sebagainya di Indonesia. Tentu saja perubahan yang diharapkan pun perubahan ke arah yang lebih baik dibandingkan dengan sebelum terjadinya perubahan UUD 1945. Apabila perubahan yang terjadi tidak lebih baik daripada sebelum amandemen UUD 1945, apalagi apabila lebih buruk, maka perubahan UUD 1945 sebagai salah satu hasil reformasi tidak membawa manfaat apapaun kepada kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Dengan kata lain, reformasi yang diperjuangkan dengan pengorbanan darah, jiwa, harta, dan air mata tidak membawa hasil yang diharapkan ketika reformasi itu digerakkan.

C. Pembangunan Politik dan Demokrasi Pasca Amandemen UUD 1945

Setelah berjalan lebih kurang lima tahun sejak dilakukannya Amandemen Pertama tahun 1999, maka tentu kita perlu melakukan evaluasi. Evaluasi tersebut penting dilakukan untuk melihat apakah tujuan semula dilakukannya amandemen UUD 1945 itu tercapai atau tidak. Memang akan sangat sulit untuk melakukan evaluasi dan penilaian terhadap berhasil atau tidaknya perubahan UUD 1945. namun, paling tidak kita dapat melihatnya dari tujuan awal dilakukannya perubahan Uud 1945 tersebut.

Adapun tujuan perubahan UUD 1945 adalah untuk: [9]

1. menyempurnakan aturan dasar mengenai tatanan Negara dalam mencapai tujuan nasional yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

2. menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan kedaulatan rakyat serta memperluas partisipasi rakyat agar sesuai dengan perkembangan paham demokrasi.

3. menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan perlindungan hak asasi manusia agar sesuai dengan perkembangan hak asasi manusia dan peradaban umat manusia yang sekaligus merupakan syarat bagi suatu Negara hukum yang dicita-citakan oleh UUD 1945.

4. menyempurnakan aturan dasar penyelenggaraan Negara secara demokratis dan modern, antara lain melalui pembagian kekuasaan yang lebih tegas, sistem saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances) yang lebih ketat dan transparan, dan pembentukan lembaga-lembaga Negara yang baru untuk mengakomodasi perkembangan kebutuhan bangsa dan tantangan zaman;

5. menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan konstitusional dan kewajiban Negara mewujudkan kesejahteraan sosial, mencerdaskan kehidupan bangsa, menegakkan etika, moral, dan solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan dalam perjuangan mewujudkan Negara sejahtera;

6. melengkapi aturan dasar yang sangat penting dalam penyelenggaraan Negara bagi eksistensi Negara dan perjuangan Negara mewujudkan demokrasi, seperti pengaturan wilayah Negara dan pemilihan umum;

7. menyempurnakan aturan dasar mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa sesuai dengan perkembangan aspirasi, kebutuhan, serta kepentingan bangsa dan Negara Indonesia dewasa ini sekaligus mengakomodasi kecenderungannya untuk kurun waktu yang akan datang.

Untuk melihat hasil perubahan UUD 1945 berkaitan dengan kehidupan ketatanegaraan, khususnya di bidang politik dan demokrasi, dapat dilihat sejauhmana tujuan di atas sudah dilaksanakan. Sejak tahun 1999, memang sudah banyak peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan berkaitan dengan bidang politik dan demokrasi, seperti:

  1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik.
  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum.
  3. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
  4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Dengan dikeluarkannya berbagai undang-undang di atas, sedikit banyak secara formal tujuan dilakukannya perubahan UUD 1945 sudah terpenuhi. Namun demikian, secara material tentu masih harus dilakukan pengkajian yang mendalam terutama berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang tersebut dalam praktiknya. Bukan tidak mungkin bahwa secara formal undang-undang tersebut sudah mengaturnya dengan baik, tetapi dalam pelaksanaannya tidak sesuai dengan ketentuan yang ada.

Beberapa undang-undang tersebut kemudian membawa dampak terkait dengan kehidupan politik dan demokrasi seperti dapat digambarkan di bawah ini.

  1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik.

Di dalam undang-undang tersebut diatur mekanisme pembentukan dan pendirian partai politik yang relatif mudah. Sebagai akibatnya, dengan keluarnya undang-undang tersebut maka partai politik banyak bermunculan. Secara de facto partai politik yang muncul dan mendaftarkan diri ke Departemen Kehakiman pada saat itu sebanyak 141 buah. Dari jumlah tersebut, partai yang mendaftarkan diri ke Lembga Pemilihan Umum sebanyak 106 partai politik,[10] dan yang layak diverifikasi sebanyak 60 partai politik. Dari 60 partai tersebut yang lolos dan berhak mengikuti pemilihan umum tercatat sebanyak 48 partai politik.[11]

Berdasarkan undang-undang tersebut dimulailah era kebebasan untuk mendirikan partai politik yang kemudian menyebabkan sistem multi partai dalam pemilihan umum tahun 1999. Hal ini sangat jauh berbeda dengan pada masa Orde Baru, di mana partai politik hanya berjumlah 2 buah dan 1 golongan karya. Undang-undang ini pun menghilangkan status golongan karya yang bukan partai politik dan harus berubah menjadi partai politik apabila mau turut serta dalam pemilihan umum. Dengan demikan, semua paserta pemilihan umum memiliki kedudukan dan status yang sama tanpa ada perbedaan.

Munculnya jumlah partai politik yang banyak tidak secara otomatis akan menjamin kehidupan politik dan demokrasi menjadi lebih baik. Justru dapat saja menyebabkan persoalan dalam pelaksanaannya. Memang kelebihannya rakyat dapat memiliki pilihan yang lebih banyak untuk memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga perwakilan baik di pusat maupun daerah. Namun demikian, harus diwaspadai juga jangan sampai kelahiran undang-undang tersebut menyebabkan bangsa Indonesia menjadi terpecah-belah karena adanya perbedaan pandangan politik. Justru dengan lahirnya undang-undang tersebut harus menjadi tolok ukur kedewasaan politik rakyat dalam mengimplementasikan hak-hak politiknya.[12]

  1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum.

Beberapa hal penting dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum adalah penyelenggaraan pemilihan umum bukan lagi dilakukan oleh pemerintah. Sekalipun Presiden ditetapkan sebagai penanggung jawab pemilihan umum, penyelenggaraannya sendiri dilakukan oleh sebuah badan yang bebas dan mandiri, yang disebut Komisi Pemilihan Umum (KPU). KPU ini terdiri dari unsur partai politik peserta pemilihan umum dan pemerintah tetapi bertanggung jawab kepada Presiden.

Undang-undang ini juga mengubah persyaratan minimal pendidikan untuk calon anggota DPR, DPRD I, dan DPRD II menjadi serendah-rendahnya berpendidikan sekolah lanjutan tingkat atas, di mana sebelumnya serendah-rendahnya berpendidikan sekolah menengah lanjutan pertama. Selain itu, perubahan penting lainnya adalah kewenangan untuk mengisi keanggotaan MPR dari Utusan Daerah dialihkan kepada KPU, di mana sebelumnya dipegang oleh Presiden. Presiden hanya berwenang untuk menetapkan dan meresmikan secara administrative keanggotaan utusan golongan tersebut. Dengan demikian, dalam hal ini kewenangan Presiden sudah mulai dibatasi terkait pengisian keanggotaan MPR.

Berbeda dengan undang-undang sebelumnya, undang-undang ini hanya membatasi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang tidak menggunakan hak memilih maupun dipilih.[13] Selain itu, tata cara pendaftaran pemilih pun mengalami perubahan, jika sebelumnya pendaftar bersifat pasif (didatangi oleh petugas) menjadi aktif (mendatangi petugas pendaftaran).[14] Namun akibatnya, para pemilih banyak yang tidak terdaftar dan tidak dapat memberikan suaranya dalam pemilu karena berbagai faktor, di antaranya enggan mendaftarkan diri, lupa, tidak ada waktu, atau pun sengaja tidak mau mendaftarkan diri. Hal ini tentu dapat menimbulkan persoalan karena mereka tidak menggunakan haknya dengan baik.

  1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD

Kehadiran undang-undang tersebut membawa perubahan terhadap susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa MPR terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan daerah dan utusan golongan. Namun jumlahnya mengalami perubahan dari 1000 orang menjadi 700 orang dengan rincian sebagai berikut:

a. Anggota DPR sebanyak 500 orang;

b. Utusan Daerah sebanyak 135 orang, yaitu 5 (lima) orang dari setiap Daerah Tingkat I;

c. Utusan Golongan sebanyak 65 orang.

Pengisian keanggotaan DPR dilakukan dengan pemilihan umum dan pengangkatan seperti pada undang-undang sebelumnya. Namun demikian, jumlahnya mengalami perubahan, yaitu: jumlah anggota DPR adalah sebanyak 500 orang dengan rincian: anggota partai politik hasil pemilihan umum sebanyak 462 orang dan anggota ABRI yang diangkat sebanyak 38 orang. Dari jumlah tersebut, anggota yang dipilih melalui pemilihan umum bertambah banyak, sebaliknya jumlah anggota ABRI yang diangkat semakin berkurang. Hal ini merupakan salah satu konsekuensi adanya tuntutan untuk mengurangi peran aktif ABRI dalam kehidupan politik di Indonesia.

  1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Sekalipun undang-undang ini tidak secara langsung berkaitan dengan persoalan politik dan demokrasi, kehadirannya membawa pengaruh pula terhadap pelaksanaan hak-hak politik dan demokrasi warga negara. Dengan adanya undang-undang tersebut, hak-hak asasi setiap warga negara memiliki jaminan yang tegas, karena harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun (konsiderans menimbang huruf a). Dengan demikian, undang-undang ini secara tidak langsung akan membawa pengaruh terhadap pelaksanaan hak-hak politik dan demokrasi warga Negara.

Salah satu materi muatan yang penting berkaitan dengan pelaksanaan hak politik dan demokrasi warga negara adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 43 yang berbunyi:

(1) Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Setiap warga Negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

(3) Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.

Materi muatan lainnya yang sangat penting dalam konteks politik dan demokrasi adalah pengaturan mengenai keharusan keterwakilan perempuan dalam lembaga eksekutif, legislatif, maupn yudikatif. Pasal 46 menyebutkan bahwa “Sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan badan legislative, dan system pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan”. Menurut Bagir Manan, ketentuan ini kemudian bermuara kepada system kuota, yang menentukan syarat minimal kuantitas perwakilan wanita dalam sektor publik.[15]

Seiring dengan berjalannya waktu, ketentuan undang-undang di atas kemudian mengalami perubahan dan penggantian. Hal ini menandakan bahwa berbagai perubahan yang dilakukan menjelang dan setelah terjadinya perubahan UUD 1945 pada waktu itu dianggap sudah tidak sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang setelah terjadinya perubahan UUD 1945. Untuk itu, undang-undang tersebut mengalami perubahan dan penggantian, sebagai berikut:

  1. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik diganti dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik.
  2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum diganti dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
  3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia materi muatannya dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada waktu amandemen kedua pada tahun 2000.

D. Mewujudkan Demokrasi Pancasila Dalam Kehidupan Politik dan Demokrasi

Di atas sudah dijelaskan bahwa dalam kehidupan politik dan demokrasi sudah cukup banyak ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengalami perubahan. Hal itu dilakukan agar kehidupan politik dan demokrasi dapat berjalan menjadi lebih baik daripada sebelumnya. Namun demikian, pengaturan dalam undang-undang saja belum menjamin terlaksananya kehidupan politik dan demokrasi yang lebih baik apabila tidak dibarengi dengan perubahan budaya dan sikap atau perilaku masyarakat dan terutama para elit partai politik, penyelenggara Negara, maupun masyarakat umumnya. Tanpa adanya perubahan tersebut, ada kemungkinan kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia justru akan terjadi kontraproduktif karena tidak ada kesesuaian antara aturan dengan praktik di lapangan.

Berkaitan dengan tuntutan reformasi di bidang politik dan demokrasi sebagian besar karena disebabkan pelaksanaan demokrasi Pancasila yang diharapkan mampu memperbaiki keadaan akibat kegagalan pada masa Orde Lama tidak berhasil dengan memuaskan. Cita-cita Orde Baru yang menginginkan adanya perubahan politik dan kehidupan demokrasi yang lebih baik daripada masa Orde Lama pada akhirnya mengalami nasib yang sama. Sebagai akibatnya Demokrasi Pancasila menjadi tidak berjalan sesuai dengan keinginan dan harapan seluruh bangsa Indonesia bahkan dianggap gagal.

Menurut Bagir Manan, kegagalan dalam mewujudkan sistem nilai demokrasi Pancasila pada masa Orde Baru terjadi karena tujuh hal, yaitu:[16]

1. Strategi pembangunan nasional yang sangat menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi, disertai anggapan bahwa pembangunan politik termasuk demokrasi justeru akan menghambat kecepatan pembangunan ekonomi. Timbul semboyan yang berbunyi “ekonomi yes, politik no”.

2. Pendekatan keamanan (security) dalam mengelola kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara cenderung membatasi kebebasan. Penggunaan sarana seperti sensor preventif dianggap lebih efisien, efektif, dan mudah dalam menjaga ketertiban, dan keamanan untuk pengendalian masyarakat.

3. Dwifungsi ABRI. Peranan sosial politik ABRI ikut menyumbang kesulitan atau kegagalan Demokrasi Pancasila. Peranan sosial politik ini secara wajar mengandung makna keikutsertaan ABRI dalam penyelenggaraan pemerintahan sipil (the civilian government). Dengan demikian, ABRI yang turut serta dalam pemerintahan sipil semestinya baik secara mental maupun structural harus berkiprah dalam suasana dan budaya pemerintahan sipil. Tetapi yang terjadi sebaliknya.

4. Sistem figur sentral. Sistem figur sentral yang berpuncak pada Soeharto karena jasanya yang sangat besar terhadap bangsa dan Negara, menempatkan Soeharto sebagai figur sentral, sampai pada suatu titik tertentu, berbagai kehendaknya atau pandangannya dianggap sebagai suatu perintah yang harus ditaati dan dijalankan, meskipun hal itu menyimpang dari tatanan yang berlaku. Tatanan figur sental semacam ini tidak memungkinkan demokrasi tumbuh sehat, bahkan secara berangsur-angsur menuju pada pemerintahan perorangan yang bersifat kediktaturan.

5. Kegagalan kekuatan sosial politik – termasuk kaum terpelajar – menjadi juru bicara kuat untuk menegakkan demokrasi. Partai, baik yang besar maupun yang kecil lebih nampak sebagai instrument penyokong kekuasaan daripada sebagai instrument untuk membangun demokrasi. Kaum intelektual meskipun secara umum mempunyai komitmen yang kuat pada demokrasi, pemerintahan yang bersih dan lain-lain, tetapi tidak begitu berdaya menghadapi susunan dan sistem kekuasaan yang sangat kuat dan menekan. Berbagai kegiatan mereka senantiasa diawasi baik melalui sistem perizinan maupun berbagai bentuk operasi intelejen mulain dari sistem pelaporan sampa pada penculikan.

6. Berbagai perangkat hukum – terutama di bidang politik dan pemerintahan – selama Orde Baru tidak menunjang terwujudnya demokrasi yang semestinya menjadi muatan Demokrasi Pancasila. UU Kepartaian, UU Keormasan, UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPRD, berbagai UU Lembaga Negara, UU Pemerintahan Daerah, UU Desa dan lain-lain belum menjadi instrument penuh untuk melaksanakan demokrasi secara wajar. Ditambah pula ketidakmampuan berbagai lembaga negara untuk berfungsi secara wajar seperti keterbatasan DPR atau anggota DPR menggunakan hak-hak yang dijamin oleh UUD maupun Undang-Undang.

7. Faktor korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). KKN juga menjadi penyebab kesulitan atau kegagalan melaksanakan Demokrasi Pancasila. Merebaknya KKN menunjukkan tidak berfungsinya sistem pengawasan baik pengawasan yang bersifat kelembagaan (structural) maupun pengawasan sosial. KKN juga menunjukkan tidak berfungsinya hukum sebagaimana mestinya. Pengawasan yang efektif baik struktural maupun sosial dan penegakan hukum yang kokoh merupakan ukuran-ukuran sangat penting bagi keberhasilan demokrasi termasuk Demokrasi Pancasila.

Persoalan tersebut mungkin saja akan terulang pada masa kini maupun yang akan datang. Dalam hal ini tidak ada jaminan bahwa kehidupan ketatanegaraan pada umumnya akan berubah menjadi lebih baik tanpa adanya upaya konkret untuk melakukan perubahan secara fundamental. Oleh karena itu, para penyelenggara negara harus mengantisipasi kemungkinan tersebut dengan melakukan berbagai perubahan yang bersifat strategis terkait dengan proses demokratisasi di tanah air. Dengan kata lain, perlu ada upaya tertentu untuk memperbaiki keadaan agar ke depan pelaksanaan Demokrasi Pancasila dapat berjalan dengan lebih baik lagi, sehingga demokrasi Pancasila bukan hanya menjadi slogan seperti waktu lalu.

Berkaitan dengan keadaan di atas, banyak pakar sudah menyampaikan gagasannya yang berkaitan dengan perubahan pelaksanaan demokrasi di Indonesia baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada umumnya, perubahan yang ditawarkan berkaitan dengan arah kebijakan hukum terkait dengan kehidupan politik dan demokrasi. Hal ini sangat wajar mengingat hukum merupakan faktor penting dan menentukan dalam menentukan arah kebijakan kehidupan politik maupun demokrasi. Dengan kata lain, proses kehidupan politik dan demokrasi akan berjalan dengan baik apabila tersedia aturan hukum yang jelas, tegas, transparan, dan adil.

Menurut Muladi, beberapa langkah atau kebijakan hukum yang harus diambil dalam rangka memperbaiki keadaan bangsa dan negara ke depan dapat berupa:[17]

1. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi hukum dan tegaknya Negara hukum.

2. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati agama dan hukum adapt serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang diskriminatif, termasuk ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.

3. Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum serta menghargai HAM.

4. Melanjutkan ratifikasi konvensi internasional, terutama yang bertalian dengan HAM sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan bangsa dalam bentuk Undang-Undang.

5. Meningkatkan integritas moral dan profesionalisme aparat penegak hukum, termasuk POLRI, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana hukum, pendidikan, serta pengawasan yang efektif.

6. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh penguasa dan pihak manapun.

7. Mengembangkan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional.

8. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka, serta bebas KKN dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran.

9. Meningkatkan pemahaman, kesadaran, perlindungan, penghormatan, dan penegakan HAM dalam seluruh aspek kehidupan.

10. Menyelesaikan berbagai proses peradilan terhadap pelanggaran hukum dan HAM yang belum ditangani secara tuntas.

Pelaksanaan Demokrasi Pancasila yang dianggap mengalami kegagalan pada waktu yang lalu tentunya perlu diperbaiki untuk masa sekarang dan yang akan datang. Tentu kita akan sepakat bahwa kegagalan Demokrasi Pancasila dalam kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia bukan disebabkan oleh Pancasilanya yang salah. Hal itu lebih disebabkan oleh para pemegang kekuasaan dan pelaksana kebijakan yang melakukan kesalahan dalam menerjemahkan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Tidak berlebihan kiranya apabila dikatakan bahwa pelaksanaan nilai-nilai Pancasila lebih didasarkan kepada penafsiran dan kepentingan pihak penguasa semata-mata dengan mengesampingkan kepentingan pihak lainnya.

Penafsiran nilai-nilai Pancasila tersebut sangat tampak dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kehidupan politik dan demokrasi itu sendiri. Berbagai hal berkaitan dengan masalah tersebut lebih cenderung melaksanakan ambisi dan kemauan politik para pemegang kekuasaan daripada kemauan sebagian terbesar dari rakyat. Oleh karena itu, tafsir yang dianggap benar adalah tafsir dari pihak penguasa. Apalagi penafsiran tersebut dituangkan ke dalam bentuk formal peraturan perundang-undangan yang nota bene dianggap sebagai hukum yang paling dominan dalam sistem hukum di Indonesia. Sebagai akibatnya, maka kemauan para pemegang kekuasaan tersebut mendapat bungkus yang kuat karena tertuang dalam bentuk hukum tersebut.

Berbagai kejadian dan pengalaman sudah mengajarkan kepada kita bahwa terjadinya banyak persoalan yang muncul disebabkan ketidakkonsistenan para penyelenggara negara dalam melaksanakan dan mematuhi rambu-rambu hukum yang ada. Oleh karena itu, ke depan para penyelenggara negara dan pemerintahan harus selalu konsisten mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan. Sebaliknya, apabila memang peraturan perundang-undangannya sendiri yang tidak baik maka harus dilakukan revisi sehingga menjadi lebih baik. Namun demikian, perubahan tersebut harus dilakukan secara hati-hati agar tidak merusak tatanan yang sudah ada tetapi justeru harus memperkuatnya. Dengan jalan demikian, kehidupan politik dan demokrasi di Indonesia akan dapat berjalan sesuai dengan harapan semua pihak.

E. Penutup

Pembangunan bidang politik dan demokrasi di Indonesia sudah diberi wadah yang jelas dalam bentuk peraturan perundang-undangan, mulai dari UUD 1945 maupun undang-undang di bidang politik. Bahkan dalam upaya meningkatkan kualitas kehidupan politik dan demokrasi, serta bidang lainnya, UUD 1945 sudah diubah sebanyak empat kali. Dengan demikian, semua pihak akan mempunyai pedoman dan panduan yang jelas dalam melakukan hak dan kewajiban politiknya. Oleh karena itu, semua pihak terkait harus mentaati dan berpedoman kepada ketentuan peraturan perundang-undangan agar pelaksanaan hak politiknya berjalan dengan baik.

Perubahan UUD 1945 diharapkan akan membawa kehidupan politik dan demokrasi yang lebih baik lagi di Indonesia. Dalam hal ini diperlukan keseriusan dari berbagai pihak untuk mengimplementasikan berbagai ketentuan pelaksana dari UUD 1945 tersebut agar dapat terwujud kehidupan politik dan demokrasi yang sehat. Oleh karena itu, semua stakeholders perlu meluruskan niat dalam mengimplementasikan semua ketentuan tersebut agar pelaksanaan kehidupan politik dan demokrasi dapat berjalan sesuai dengan harapan semua pihak. Pada akhirnya, diharapkan dengan pembangunan di bidang politik dan demokrasi akan membawa kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara ke arah yang lebih baik.



DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, 1998, ‘Demokrasi Pancasila, Tinjauan Pelaksanaan Bidang Hukum, Politik dan Hak Asasi Manusia’, makalah, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

------, dkk., 2001, Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia, PT Alumni, Bandung.

Hernadi Affandi, 2005, Hukum Hak Asasi Manusia, Diktat, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

Komisi Pemilihan Umum, 1999, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 1999, Jakarta.

Majelis Permusyawaratan Rakyat, 2006, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI.

Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak Asasai Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesiaa, cetakan Pertama, The Habibie Center, Jakarta.

Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2003, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Jakarta.

Sri Soemantri, 2001, ”Reformasi Konstitusi“, dalam Jurnal Dialektika, vol. 2 No. 2.

Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 Tentang Pemilihan Umum.

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD



*) Paper disampaikan dalam acara “Pemantapan Wawasan Kader Partai Politik di Kabupaten Majalengka Tahun 2006”, Majalengka, 11 Desember 2006.

**) Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung.

[1] Majelis Permusyawaratan Rakyat, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2006, hlm. 3.

[2] Ibid, hlm. 6-7.

[3] Ibid, hlm. 8.

[4] Sri Soemantri, ”Reformasi Konstitusi“, dalam Jurnal Dialektika, vol. 2 No. 2, Tahun 2001, hlm. 6.

[5] Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2003, hlm. 25.

[6] ibid, hlm. 31.

[7] ibid, hlm. 41.

[8] ibid, hlm. 51-52.

[9] Majelis Permusyawaratan Rakyat, op.cit, hlm. 8-9.

[10] Komisi Pemilihan Umum, Laporan Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 1999, Jakarta, hlm. 84.

[11] ibid, hlm. 86.

[12] Bagir Manan, dkk., Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Manusia, PT Alumni, Bandung, 2001, hlm. 166.

[13] Hernadi Affandi, Hukum Hak Asasi Manusia, Diktat, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 2005, hlm. 82.

[14] ibid, hlm. 83.

[15] Bagir Manan, dkk., Perkembangan..,op.cit., hlm. 147.

[16] Bagir Manan, ‘Demokrasi Pancasila, Tinjauan Pelaksanaan Bidang Hukum, Politik dan Hak Asasi Manusia’, makalah, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 1998, hlm. 15-18.

[17] Muladi, Demokratisasi, Hak Asasai Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesiaa, cetakan Pertama, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 4-5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar